Embun 02

4.9K 421 8
                                    

Hari itu pun tiba. Saat di mana dua insan saling bertemu satu sama lain di atas pelaminan. Bisa dibilang ini adalah pertemuan pertama kali dalam hidup, dan langsung bersanding berdua di atas pelaminan dengan hiasan bunga-bunga putih nan indah dan harum. Di sebuah cafe di Padang Barat itu pun sedang berlangsung acara resepsi pernikahan dengan konsep outdoor. Buja, dia tidak bisa apa-apa, saat para tetua itu bersuara, dan memberi keputusan. Jalani pelan-pelan, tak kenal maka tak sayang, begitulah mereka berucap.

Buja mengenakan stelan jas abu tua—yang terlihat sangat pas di badan. Kalian tau? Buja juga harus mengenakan veil. Semua mata tertuju kepada Buja—yang jalan perlahan mengikuti irama langkah kaki Ghufron. Buja terus saja menundukkan kepala. Jujur ia tidak berani mengangkat wajahnya sendiri. Satria Dafa Perdana. Dialah yang akan menjadi suami Buja sehidup semati. Hah? Sehidup semati?, batin Buja. Satria tidak bisa lepas dari menatap Buja. Buja terlihat sangat tampan. Satria begitu terpesona.

Sungguh perceraian lima tahun lalu, membuat Satria tidak percaya diri, untuk kembali membina bidug rumah tangga, karna menurut hasil pemeriksaan dari beberapa rumah sakit, ia divonis mandul dan tidak akan pernah bisa memiliki keturunan. Satria selalu berpikir, bagaimana perasaan mereka nanti saat dinikahi, tapi tidak mempunyai keturunan selama bertahun-tahun? Satria bisa saja membuka hati pada seorang wanita nan cantik jelita. Toh, ia juga tidak kekurangan satu pun. Tapi, siapa sangka? Ia malah jatuh cinta kepada seorang p r i a bernama Buja Putranto.

Satria pun mengulurkan tangan. Gila! Tangan dia cantik banget?! Dih, insecure gue, batin Buja. Sesaat ia lupa dengan siapa ia hari ini akan menikah, dan menggantungkan hidupnya. “Buja Putranto?“ seru Satria. Suara dia terdengar begitu lembut. Buja sampai tertegun, hingga pada akhirnya ia pun mengangkat wajahnya, dan melihat wajah tampah itu tersenyum penuh arti kepada dirinya. “Buja? Buja!“ seru Ghufron pelan. Buja pun langsung tersadar dari lamunannya.

Buja raih uluran tangan itu. Terasa sangat kokoh dan kuat—juga hangat. Janji suci pernikahan pun telah diucapkan. Buja dan Satria resmi menjadi sepasang suami istri. Satria buka veil—yang menutupi sebagian wajah sang istri. Ia tatap Buja lamat-lamat. Sebuah k e c u p a n manis pun mendarat sempurna di kening Buja. Eh? Gu-gue d i c i u m?, batin Buja gugup. Demi apapun Buja cuma bisa mematung, dan pasrah. Buja pun menatap Satria. Lagi-lagi ia melihat Satria tersenyum.

Tibalah pada sesi makan-makan. Seluruh tamu undangan di sini cuma dari keluarga  besar saja, dan kerabat dekat serta rekan bisnis. Buja juga ingin menikmati beberapa menu di sini, seperti: nasi goreng kampung, mie ayam jamur, dan ayam cabe rawit. Tapi, veil di kepala membuat ia tidak leluasa bergerak. Terlebih saat ingin menyuap makanan. Satria memberi isyarat kepada penata rias untuk datang kemari. “Tolong bantu lepasin veil istri saya, ya?“ ucap Satria. I-istri?, gumam Buja. Jujur ia masih belum terbiasa dengan panggilan seperti itu. Uhm, agak sedikit geli mungkin?

Si penata rias pun melepas veil itu dari kepala Buja. Huft, lega, batin Buja. “Om?“ seru Buja. Ia bingung harus memanggil Satria dengan sebutan apa. Kalau tidak salah ingat, Satria ini baru berusia 29 tahun. Itu berarti selisih usia mereka ialah dua belas tahun. Panggilan om sepertinya lebih pas ditujukan kepada Satria. Toh, dia lebih tua dari gue, batin Buja. “Pelan-pelan makannya, jangan buru-buru,“ ucap Satria menegur. Buja pun berdehem dengan deheman kecil saja.

Tiba-tiba ada satu hal yang membuat Buja penasaran. Lalu, ia pun memberanikan diri menanyakan hal itu secara langsung kepada Satria. “Om?“ seru Buja. Satria pun menoleh. “Errr berarti om yang bakalan biayain hidup aku? Termasuk jajan?“ tanya Buja. “Pasti, Buja. Trus siapa lagi kalo bukan om?“ sahut Satria. Buja terlihat seperti ingin mengetahui lebih dalam lagi. Hal itu pun diketahui oleh Satria dari mimik wajah Buja—yang penuh rasa penasaran itu. “Sisanya kita bahas kalo udah di rumah,“ ucap Satria sambil mengusap pucuk kepala Buja.

Buja dan Satria pun tiba di rumah pada sore hari. Sudah seperti mimpi saja; Buja bisa tinggal di rumah sebesar dan semegah ini. Lihatlah nuansa serba putih, dan sedikit sentuhan coklat muda pada bagian lantai. Pasti sangat nyaman sekali untuk ditinggali. “Buja? Di sana kamar kita, kita sebelahan,“ ucap Satria sembari melepas jas. Buja terkejut. Ia berpikir bahwa dirinya akan tidur dalam satu kamar bersama Satria. Tapi, ternyata tidak? Satria menaikkan sebelah alisnya. Ia tersenyum samar. “Kita baru pertama kali ketemu. Om nggak mau bikin kamu malah nggak nyaman sama om, makanya om mutusin buat kita tidur di kamar masing-masing. Kecuali suatu saat kita udah sama-sama jatuh cinta? Hm, bisa dipertimbangin, sih,“ ucap Satria.

Trus gue musti ngapain dong? Bengong aja gitu?, batin Buja. Saat ia bingung harus melakukan apa di hari pertama pernikahan. Setelah melepas rompi dan dasi. Satria pun berkata, “Kamu bebas mau ngapain aja. Pacaran ato hang out sama siapa pun. Tapi, satu hal yang perlu kamu inget. Jangan ampe bikin malu om, Buja. Kamu itu istri om, dan semua orang tau itu. Tolong jaga nama baik Perdana di luar,“. Buja berdecih kesal dalam hati. Buja tidaklah sebodoh itu. Ia tau itu bukanlah kebebasan yang sebenarnya, melainkan sebuah larangan berkedok kata-kata manis berupa kebebasan.

Sebelum masuk ke dalam kamar. Satria pun mengatakan sesuatu kepada Buja. “Besok kita liburan dua hari ke Pulau Pemutusan sama Pulau Siburu. Maaf, kalo om nggak bisa bawa kamu ke luar kota, takutnya om ada kerjaan mendadak,“ ucap Satria—pun langsung masuk ke dalam kamar. Satria tau jikalau Buja sedang kesal dan marah kepada dirinya. Buja pasti sedang berpikir bahwa aku udah ngasih dia banyak aturan haha, batin Satria tersenyum.

Buja pun mencebikkan bibir kesal. Ia pun mencoba berkeliling sebentar. Di rumah ini terdapat banyak pintu kaca—yang juga berfungsi sebagai dinding, dan menampilkan teras-teras rumah yang bersih dan terawat. Di teras samping juga ada kolam berenang mini. Lalu, saat ia tiba di ruang keluarga, ia pun membuka pintu-pintu kaca itu, dan melihat pemandangan luar alias tempat bersantai yang mirip sekali dengan cafe. Entah mengapa udara di sini terasa sangat segar dan sejuk.

Buja pun duduk di sebuah kursi berbentuk seperti beanbag. “Selfie dulu, ah,“  gumam Buja. Ia pun menjepret diri sendiri, dan tidak lupa ia juga memperlihatkan arsitektur rumah ini bagian dalam. Beberapa foto instagramable itu pun ia posting di beberapa sosial media seperti: facebook dan instagram. Tiba-tiba postingan tersebut dibanjiri komentar. Padahal sebelum-sebelumnya, mau memposting sesuatu dalam bentuk apapun, sama sekali tidak akan ada yang pernah memberikan komentar satu pun. Hm, miris sekali, bukan?

Embun [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang