Husni sedang bersantai di ruang tengah. Sendiri di rumah seluas 60 meter persegi itu. Dia terlihat sangat serius saat menatap monitor laptop. Soal belajar dan kuliah memang lah harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai empat tahun dari sekarang akan terbuang sia-sia begitu saja. Jurusan akuntansi? Jangan remehkan Husni. Dia adalah sang juara soal hitung menghitung. Tring tring tring. Sorot mata itu pun menoleh ke arah pintu. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?, batin Husni.
Kacamata minus itu bertengger di antara tulang hidungnya. Sebal itu sudah pasti. Bagaimana tidak? Tugas-tugas sedang menggunung bagaikan bukit. Tapi, malah ada orang memencet bel pagi-pagi. “Tunggu tunggu,“ ucap Husni. Husni heran sesaat setelah ia membuka pintu. Ojol? Perasaan gue nggak order apa-apa, deh?, batin Husni. “Maaf, mas? Ini ada paket buat mas,“ ucap ojol pria itu. “Paket? Tapi, saya nggak pernah mesen apa-apa deh, pak? Bapak salah orang kali?“ sahut Husni. Ojol itu dengan tegas mengatakan, bahwa paket ini memang ditujukan untuk Husni. Di sana juga tertulis nama Husni Hartono sebagai penerima paket.
“Trus ini saya musti bayar ato gimana?“ tanya Husni sembari mengerutkan alis. Jangan sampai gue musti bayar nih paket, auto gue demo dah, batin Husni geram. “Nggak usah bayar, mas. Ini udah dibayar dari sananya,“ sahut ojol itu. Husni pun beroh ria, lalu menerima paket tersebut dengan senang hati. Husni terus menerus memandangi kotak persegi tersebut sambil menyipitkan mata. Ia curiga. Jangan-jangan berisi teror seperti bangkai binatang misalnya? Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, Husni tidak mempunyai musuh sama sekali. Hm, isinya apa, ya?, batin Husni.
Gelang?, gumam Husni. Gelang ini bukanlah gelang biasa. Dia terbungkus rapi dengan kotak kecil berbahan keras. Terlihat sangat jelas. Gelang ini bernilai sangat mahal. Di sana juga ada sepucuk surat. “Selamat pagi calon istri ku? Maaf, aku mengganggumu pagi-pagi begini. Kamu pasti lagi marah, kan? Haha aku tau itu. Jangan marah lagi, ok? Di sini aku lagi berjuang buat kamu. Buat masa depan kita. Bagaimana kuliah mu akhir-akhir ini? Membosankan atau menyenangkan? Ingat, jangan terlalu lama belajar, sesekali hibur diri sendiri dengan jalan-jalan keluar misalnya? Maaf, untuk saat ini aku masih belum bisa memberitahukan siapa identitas ku yang sebenarnya. Tapi, satu hal yang harus kamu tau. Bahwa aku sangat menyukai dirimu, calon istri ku,“ tulis si penulis dengan nama anonim tersebut.
Istri?, gumam Husni. Husni juga berusaha untuk tidak mempercayai ini. Tapi, di dalam surat itu—juga tertulis namanya. Uh, siapa, sih? Bikin penasaran aja?, batin Husni. Di sisi lain ia heran bercampur rasa geli. Saat penulis surat ini menyebut dirinya dengan sebutan calon istri. Sudah dipastikan bahwa si pengirim adalah seorang pria. Husni pun lanjut membaca surat tersebut. “Tunggu aku nanti malem, aku bakalan ke rumah kamu, dan minta satu c i u m a n dari kamu tiap malem. Inget, tiap malem!“ baca Husni dalam hati.
Satria telah terbangun dari lelapnya lebih dulu. Sedangkan Buja masih setia tertidur di lengannya yang sengaja dijadikan bantal. Pagi telah tiba. Namun, dua sejoli itu masih setia berada di atas tempat tidur, berdua, saling merasakan kehangatan masing-masing. Perasaan bahagia ini benar-benar membuat pagi Satria terasa lebih indah dan berarti. Satria adalah pria normal dari dulu. Dia juga pernah menikah dengan seorang perempuan , meski harus berakhir, karna sudah tidak ada kecocokan lagi antara keduanya.
Tapi, siapa sangka? Takdir membawa dirinya tuk jatuh cinta pada seseorang. Dia adalah seorang lelaki bernama Buja. Hampir seluruh anggota keluarga menentang keputusan Satria. Tapi, sebagai orang tua yang baik, dan berharap kebahagian bagi sang putera. Hengki dan Jamilah memberi restu itu tanpa ada paksaan sama sekali. Toh, orang tua Buja juga teman dekat Hengki dan Jamilah. Jadi, dua belah pihak keluarga tidak mempermasalahkan hal itu. Satria juga bersyukur; Buja bukanlah seorang pemberontak, meski dia terlihat sangat keras kepala. Dia menerima pernikahan ini dengan lapang dada. Sangat istimewa sekali, bukan?
Satria usap surai rambut itu dengan lembut. Lalu, ia bisikkan kata-kata cinta di telinga Buja. “Buja? Sayang? Udah pagi,“ ucap Satria. Badan Buja pegal-pegal; serasa ada beban puluhan kilogram. Kalau sudah seperti ini, mau beranjak dari atas ranjang pun jadi malas minta ampun. “Om mau ngantor,“ ucap Satria lagi—menatap Buja lamat-lamat. “Uhm, om?“ gumam Buja. Buja pun membuka mata perlahan, dan pertama yang ia lihat ialah d a d a Satria yang begitu bidang. Semburat merah itu pun menghiasi kedua pipi Buja. Oh, ayolah, tadi malam ia dan Satria begitu bersemangat. Entah berapa kali Buja mengeluarkan cairan putih nan kental itu tadi malam.
“Om mandi duluan nggak papa, ya? Soalnya om takut telat ngantor,“ ucap Satria. “Hm? Kenapa?“ tanya Satria. Saat Buja mengangkat kepala, dan menatap dua bola matanya. Cuma dua hal yang mampu Buja rasa tatkala dirinya menatap mata sang suami, yaitu ketulusan dan kehangatan. Inilah sebaik-baiknya dari perwujudan sebuah perasaan cinta dan sayang. Betul, kan? “Pfft pipi kamu merah,“ goda Satria. Buja sebal. “Udah~ Mandi sana, jangan liatin muka aku, cepetaaan,“ ucap Buja. Satria terkekeh, lalu beranjak dari ranjang setelah m e n g e c u p kening Buja.
Buja pun menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia benar-benar sangat malu; mengingat kejadian tadi malam. Terlebih saat ia tidak mampu mengontrol diri sendiri, sehingga mengeluarkan suara-suara aneh seperti itu. Saat ini Satria telah bersiap-siap dengan stelan jas. Buja terkagum-kagum melihat ketampanan dan kegagahan Satria saat memakai stelan jas. Dia terlihat sangat berwibawa sekali, batin Buja. “Kenapa liatin om mulu? Ganteng, ya?“ ucap Satria narsis sekaligus bercanda. Buja mengerucutkan bibir. “Siapa juga yang lagi liatin om? Jangan kepedean, deh,“ sahut Buja berkilah.
Satria pun mengulum senyum. “Ya udah, kalo gitu tolong anterin om ke depan, ya?“ ucap Satria; meminta Buja mengantar dirinya ke depan untuk berangkat kerja. Satria juga berniat mengajari Buja sedikit demi sedikit, bagaimana peran seorang istri dalam rumah tangga. Buja selalu berusaha menghindari tatapan Satria. Entah mengapa tatapan mata Satria seolah-olah memiliki kekuatan magis. Lagi-lagi Satria mengulum senyum; melihat tingkah menggemaskan Buja.
Cup. Satria m e n g e c u p kening Buja. “Jam sembilan ato sepuluh om pulang ke rumah lagi. Jadi, kamu siap-siap, ya? Biar langsung otw kondangan, soalnya om balik ngantor lagi nanti,“ ucap Satria. “Hm,“ sahut Buja. Meskipun Buja tidak menatap Satria secara langsung, tidak apa-apa, toh sudah menjadi istri dari seorang anggota dewan. Buja pun menghembuskan nafas lega sesaat setelah mobil—yang dikendarai Satria melesat jauh. Berasa di dekat Satria benar-benar membuat Buja harus menahan nafas.
Sejurus kemudian; Buja mengeluarkan kartu ATM dari saku celana. Ini adalah kartu ATM—yang diberikan oleh sang suami tadi. Dia bilang, bahwa kartu ini ada uang senilai puluhan juta, dan akan terus dikirim setiap bulan untuk uang jajan pribadi Buja. “Shopping go!!!“ gumam Buja bersemangat. Buja cuma mengenakan kaos polos biasa saja dan celana pendek. Ia teringat akan pesan Satria. “Inget, kalo kamu mau jalan keluar, aktifin gps kamu, jangan ampe hp kamu mati. Hati-hati sama grab penipu ato apapun, kalo mencurigakan jangan naik, ya? Batalin aja,“ ucap Satria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun [BL]
RomanceBercerita tentang sebuah pernikahan tiba-tiba dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi, malah bertemu untuk pertama kali di pernikahan sendiri.