Buja masih setia dengan stelan jas itu di badan. Dia belum jua mau mengganti dengan baju biasa barang sebentar saja. Mau tau kenapa? Karna Buja masih sibuk foto sana-sini di teras rumah bagian samping. Di sana terdapat kursi berbahan rotan dengan harga jutaan rupiah. Buja juga membuat video berdurasi tiga puluh detik untuk di upload di sosial media whatsapp. Sungguh senang hati ini, batin Buja. Buja ingin sekali mencoba selfie dengan kamera belakang. Tapi, bagaimana caranya? Di saat seperti ini, tripod adalah salah satu benda yang paling penting.
Satria pun keluar kamar sembari menenteng pakaian kotor. Dia cuma mengenakan celana pendek beberapa centimeter di atas lutut; berbahan kain katun—pun kaos polos dengan bahan senada. Ia pun menghela nafas; melihat Buja masih setia foto-foto di teras. Setelah meletakkan pakaian kotor itu di wadah khusus, kemudian ia pun menghampiri Buja. “Buja?“ seru Satria. Buja terlihat sangat senang dan bahagia. Sungguh di luar dugaan. Satria sempat berpikir, bahwa Buja akan memberontak atau mungkin mengeluarkan sumpah serapah kepada dirinya.
Buja pun menoleh sambil mengedipkan mata beberapa kali. “Ganti baju dulu, baru lanjut foto-fotonya,“ ucap Satria. Satria sama sekali tidak emosi, dan untuk apa jua ia harus emosi? Toh, tujuan dari menikah ialah menyenangkan istri sendiri. Betul, kan? Beberapa orang mungkin akan memandang rendah Buja, dan mengatainya udiklah, orang kaya barulah, inilah, itulah, tapi tidak untuk Satria. Buja itu berharga bagaikan permata yang harus dijaga. Dia begitu polos. Dia juga berbeda dari perempuan dan lelaki mana pun. Dia lebih pantas jadi istri aku dibandingin siapa pun, batin Satria.
“Uhm, ada tripod?“ tanya Buja. “Ada~ Tapi, kamu ganti baju dulu, ya?“ sahut Satria. Buja pun tersenyum, lalu langsung melesat ke kamar. Satria tersenyum samar. Jujur ia deg-degan sejak pertama kali berjumpa dengan Buja di pelaminan. Bertemu secara langsung saja belum pernah. Cuma melihat foto kelulusan Buja; Satria bisa langsung jatuh cinta. Sangat tidak masuk akal sekali, bukan? Satria juga tau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi antara dirinya dan Buja.
Satria memang telah menikahi Buja. Tapi, bukan berarti ia mengurung Buja, hingga membuat kebebasan Buja terganggu. Buja masihlah remaja berusia tujuh belas tahun. Pada usia tersebut bisa jadi dia masih sangat lah labil. Satria juga tidak melarang Buja, bergaul dengan siapa pun, bahkan ia juga memberi izin kepada Buja pabila ia ingin memiliki seorang kekasih. Satria cuma berharap, seiring berjalannya waktu, semoga Tuhan akan menanamkan rasa cinta itu di hati Buja untuk dirinya.
Buja mengendus-endus aroma harum bumbu-bumbu dapur. Uh, laper, batin Buja. Om Satria?, gumam Buja. Buja tertegun melihat Satria memasak menu makan malam. Buja pun melangkahkan kaki mengendap-endap seperti seorang pencuri, lalu duduk di kursi mini bar. Satria terkejut saat ia memutar badan, dan melihat Buja tiba-tiba duduk manis begitu saja. “Buja? Kamu ngagetin om tau? Kok kamu bisa duduk di situ ampe nggak ada bunyi sama sekali?“ ucap Satria. Buja seperti hantu saja, muncul secara tiba-tiba.
“Biar om bisa konsentrasi masak,“ sahut Buja. Cepetan gih gue laper tau, batin Buja. Buja berharap Satria segera menyajikan makan malam di atas meja. Satria menyipitkan mata. Coba ngerjain nih anak, ah, batin Satria. “Laper?“ ucap Satria membuat Buja tertohok. Buja tidak mungkin mengiyakannya. Kalau sampai Buja melakukan itu, entah di mana ia harus meletakkan mukanya itu karna malu. “C i u m om dulu,“ ucap Satria. Buja cengo? Ci-c i u m? Emang mau c i u m apanya?, batin Buja heran.
“Ehem, kamu mikir apa, sih? Om cuma mau kamu c i u m tangan om doang, ok? Bisa?“ ucap Satria sekaligus bertanya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia berharap bisa mendapat c i u m a n mesra di bibir atau pipi. Tapi, ia tidak ingin membuat Buja malah jadi risih. Itulah mengapa Satria cuma meminta Buja untuk m e n c i u m tangan saja. Ingatlah bahwa bagian dari mencintai ialah memperbesar rasa sabar, dan memperkecil ego diri sendiri. Satria benar-benar suami idaman, kan? Dia begitu amat sangat menjaga perasaan Buja.
Buja tatap dua bola mata dengan kelopak mata agak dalam itu. “Nama lengkap om siapa?“ tanya Buja. Entah mengapa tetiba ia ingin menanyakan nama lengkap Satria. Saat mengucap janji suci pernikahan tadi pagi, memang pemimpin upacara tersebut menyebutkan nama Satria secara lengkap. Tapi, ketahuilah, Buja adalah seorang pelupa. Tentu saja dia bertanya, karna dia lupa, bukan karna hal lain. “Satria Dafa Perdana,“ sahut Satria. Deg deg deg. Tiba-tiba jantung Buja berdegup kencang. Padahal Satria cuma menyebutkan nama lengkap saja.
“Eh? Err makanannya mana?“ tanya Buja. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan. Satria pun diam membisu sambil menatap Buja dengan tatapan datar. Satria sengaja menguji remaja itu. Kira-kira apakah dia mampu mengingat syarat—yang diajukan oleh Satria tadi? Sejurus kemudian, tangan itu pun meraih satu tangan Satria, lalu m e n c i u m nya sekilas. “Udah? Cepetan, aku laper om,“ ucap Buja. Satria pun perlahan menarik tangannya kembali. Di bawah sana, ia mengepalkan tangan. Hal ini ia lakukan bukan karna kesal ataupun marah, melainkan demi mengusir rasa gugup dari dalam hati.
Hidup bertetangga memang tidak selalu berjalan mulus. Terlebih gosip-gosip seputar pernikahan antara Buja dan Satria mulai menyebar luas dengan cepat. Gunjingan demi gunjingan pun Utami dan Ghufron terima. Dijauhi, dihina, dikucilkan, sudah menjadi makanan sehari-hari. Lalu, bagaimana tanggapan Utami dan Ghufron? Tentu saja mereka abai akan semua itu, karna kebahagiaan Buja adalah yang paling utama.
Pagi ini Utami membuka pintu rumah perlahan. Seperti biasa, ia ingin merasakan betapa segar dan sejuknya udara di pagi hari. Biar udara-udara kotor dari dalam rumah keluar semua. Namun, ia seperti m e n c i u m aroma amis. Kedua alis Utami berkerut. Dari mana asalnya aroma amis ini?, batin Utami. Lalu, ia pun melangkahkan kaki ke teras. Oh, benar saja, rupanya ada puluhan telur—yang sengaja dilempar ke teras rumah. Jujur Utami sama sekali tidak marah—apalagi balas menghina mereka. Utami cuma merasa sedih, melihat telur-telur itu pecah, berserakan di atas tanah.
Di luar sana berapa banyak anak-anak, remaja, hingga orang-orang dewasa mengemis di jalanan demi sesuap nasi. Tapi, mereka tanpa pikir panjang malah melempari telur ke rumah kami?, batin Utami. Utami berdiri termenung menatap telur-telur itu di tanah. “Ma?“ seru Ghufron berdiri di depan pintu. “Kenapa, ma?“ tanya Ghufron. Utami pun menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Ini, pa, ada tetangga kita lemparin telur ke rumah. Mama cuman lagi mikir, ini telur kalo di masak pasti enak banget, trus bisa buat ngasih makan orang jalanan, pa,“ sahut Utami.
Ghufron mampu merasakan ketulusan hati sangat istri. Ia pun menghampiri Utami sembari menyentuh kedua pundaknya untuk menghibur. “Gimana kalo kita ke pasar beli telur? Trus dimasak, baru kita bagiin di jalanan? Hm?“ ucap Ghufron. “Serius? Beneran?“ ucap Utami mencoba memastikannya. Sungguh Utami amat sangat bahagia, bisa berbagi kepada sesama. Terlebih menantu sendiri memberikan sejumlah uang dalam jumlah besar. “Beneran, ma~ Yuk,“ sahut Ghufron.
Beberapa orang yang lewat memicingkan mata; menatap Ghufron dan Utami dengan tatapan penuh rasa jijik. Sambil menjinjing bakul rotan—yang biasa digunakan untuk berbelanja di pasar—pun mereka sambil berbisik-bisik dan bergidik. “Duh, bu ibu. Jangan deket-deket deh ama kotoran sapi. Iyuh,“ ucap Ismiati, perempuan bertubuh gempal itu. Dia memang satu geng bersama dengan si tukang adu domba, Ngatminah. Huft, Utami pun menghela nafas. Ini adalah urusan keluarganya sendiri. Tapi, mengapa mereka begitu suka sekali ikut campur?, batin Utami. “Udah, ma~ Nggak usah diladenin,“ ucap Ghufron.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun [BL]
RomanceBercerita tentang sebuah pernikahan tiba-tiba dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi, malah bertemu untuk pertama kali di pernikahan sendiri.