Embun 07

2.3K 269 2
                                    

Buja dan Satria saling diam-diaman. Orang-orang seperti mereka itu harus diberi pelajaran. Begitulah menurut Buja. Tapi, apa? Satria malah dengan tegas meminta Buja untuk menyudahi semua itu. Buja? Entah bagaimana ceritanya, dia cuma bisa menurut saja seperti anak anjing. Diam itu emas. Buja tidak perduli dengan pria berlabel suaminya itu untuk saat ini. Satria mau mandi sebentar. Biarkan saja sang istri merajuk untuk beberapa saat. Satria berniat membujuk Buja setelah beberes nanti. Huft, Buja Buja, batin Satria.

Buja langsung menghempaskan badan di atas ranjang. Lelah hati lelah pikiran—menghadapi seorang suami seperti Satria. Buja tiba-tiba teringat akan satu hal. Seingat dirinya, Satria pernah berkata, bahwa ia tidak akan melarang Buja menjalin kasih dengan perempuan mana pun. Dia juga memberi kebebasan kepada Buja untuk bergaul dengan siapa pun. Hm, gue nyoba nyari pacar aja deh ntar, minta dikenalin sama Fadhli ato Husni, batin Buja. “Bro, cariin gue pacar dong?“ tulis Buja di grup tiga serangkai.

Di seberang sana, baik Fadhli ataupun Husni malah terheran-heran. Buja minta dicarikan pacar? Kan dia udah bersuami?, dalam hati mereka bertanya-tanya. “Lu jangan ngarang,“ balas Fadhli. Husni sedang memantau pembicaraan mereka. “Seriusan~ Gue nggak ngarang~ Plis cariin dong?“ balas Buja. Dia bisa juga segusar itu demi seorang pacar. Buja pun telentang sembari menatap langit-langit. Di sana ia berangan-angan memiliki seorang kekasih nan cantik jelita. Uh, betapa indahnya dunia ku rasa saat ini saat ini, batin Buja.

Buja masih marah? Pintu kamar juga masih tertutup rapat; mengunci semua celah. Satria bukanlah seorang pemula dalam urusan cinta. Dia juga sempat dekat dengan beberapa orang wanita setelah bercerai. Tapi, untuk Buja, dia seolah menjadi seperti seorang pemula—pun tiada pengalaman dalam menjalin hubungan percintaan. Benar. Bertatap muka saja baru beberapa hari. Bagaimana bisa Satria memahami Buja semudah itu? Seorang pecinta dan pemuja tidak akan pernah merasa terbebani—apalagi merasa derajat jadi jatuh ke dasar cuma karna ingin membujuk istri tercinta.

“Buja? Buja? Tolong bukain pintunya. Om mau ngomong,“ ucap Satria. Selemah lembut itu suara—yang keluar dari bibir Satria bak untaian benang sutra. Sampai saat ini, Buja, ia tidak pernah mendengar Satria berbicara dengan nada tinggi, meski dalam keadaan marah sekali pun. Sesabar itukah seorang Satria? Buja masih betah memandangi pintu kamar setinggi 2,5 meter itu. Suara sang pecinta itu tanpa henti memanggil-manggil diri ini—pun amarah dalam diri membuat diri ini enggan untuk beranjak barang sejengkal pun.

“Buja? Buja? Sayang?“ panggil Satria. Ia sempat ragu-ragu memanggil Buja dengan sebutan itu. Jangan sampai Buja semakin marah. Usia Buja baru tujuh belas tahun. Tentu dia belum sepenuhnya mampu bersikap dewasa. Satria juga paham akan hal itu. Tapi, mencintai, menyayangi, dan mengasihi Buja tanpa ragu adalah kewajiban seumur hidup. Satria menerima semua apa yang ada pada diri Buja. Uh, itu orang nggak capek apa? Manggil-manggil gue mulu?, batin Buja. Buja tidak sejahat itu. Ia juga mempunyai hati nurani.

Sreet. Pintu pun terbuka, dan menampakkan seorang Buja. Oh Tuhan, bagaimana bisa Buja terlihat begitu sangat tampan dan membuat aku sedikit b e r g a i r a h?, batin Satria. Entah karna Buja—atau memang karna Satria sudah bertahun-tahun tidak melakukan itu. “Om boleh masuk ke dalem?“ tanya Satria. Buja pun mempersilahkan Satria masuk ke dalam. Toh, rumah ini adalah milik Satria. Lalu, atas dasar apa pula, Buja melarang sang suami masuk ke dalam? Benar, bukan?

Satria berdiri; saling berhadap-hadapan dengan sang istri. Jujur ia teramat sangat gugup. Buja menatap Satria—yang juga tengah menatap dirinya hampir tanpa berkedip. “Maaf, kalo om udah bikin kamu marah. Om sengaja cegah kamu, karna kamu adalah istri om, om nggak mau kamu dipermaluin sama orang lain di depan umum, Buja. Bukan cuma kamu, nama Perdana juga bakalan ikut tercemar. Hm?“ ucap Satria tulus. Entah mengapa Buja jadi semakin kesal setelah mendengar kata-kata dari Satria barusan. Padahal tidak ada yang salah sama sekali. Tapi, kenapa?

Di sebuah ruang nan gelap, namun terasa terang benderang bagi mereka para pecinta. Terdapat secercah rasa—yang di mana tanpa ia sadari, rasa itu begitu penuh harap, meski ia sendiri tidak tau pasti. Harapan seperti apa yang tengah ia damba. Sebuah rasa—yang di mana mampu meluapkan sesuatu dalam diri yang disebut dengan amarah? Kerinduan? Keegoisan? Hah, entahlah. Buja juga tidak tau. Tangan Satria pun terulur tuk mengusap pipi Buja.

D a d a Satria bergemuruh hebat. Deg deg deg. Ia deg-degan cuma dengan mengusap pipi Buja saja? “Maaf, kalo om egois, Buja. Tapi, apa boleh, om minta hak om sendiri sebagai seorang suami?“ ucap Satria. Buja menelan ludah. Hak? Se-sebagai suami?, batin Buja. Tujuh belas tahun, bukan berarti Buja buta, dan tidak tau menau—apa yang dimaksud oleh Satria. Terlebih posisi Buja saat ini ialah seorang istri dari Satria Dafa Perdana.

Pipi Buja memerah seperti tomat. Bagaimana ini? Gu-gue musti jawab apa?, batin Buja. “Om nggak bakalan maksa kamu, kalo kamu sendiri belum siap. Tapi, satu hal yang harus kamu tau, Buja. Om sayang sama kamu,“ ucap Satria tulus dari hati yang terdalam. Siapa aku? Seorang pria yang baru dikenal oleh Buja beberapa hari ini, mana mau dia ngasih gak itu ke aku?, batin Satria. “Uhm, a-aku..,“ gumam Buja terbata-bata. Buja pun mencoba menatap dua bola mata itu lamat-lamat. Sial! Tatapan Om Satria, dia.., batin Buja.

“Hm,“ gumam Buja lagi sembari menganggukkan kepala tanda setuju. Buja pun melemparkan pandangannya ke objek lain. “Ta-tapi, uhm—“ gumam Buja. Tiba-tiba Satria membungkam m u l u t Buja dengan bibir. Bibir itu terasa begitu lembut. Ini adalah c i u m a n pertama dalam hidup Buja. Hangat dan penuh cinta—pun rasa aman. Itulah yang ia rasa saat ini. Perlahan tubuh ini pun didorong hingga otomatis rebahan di atas ranjang. Bibir itu bergerak-gerak di permukaan. Terasa basah—juga manis. Tubuh Buja terasa kian memanas, dan seperti ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam sana. Saat ia menerima sentuhan-sentuhan nan lembut itu hampir di seluruh b a d a n.

“Uhh mmh aahh aahh nggh,“ gumam Buja. Seluruh ruang kamar tidur ini pun dipenuhi oleh suara-suara indah nan penuh g a i r a h. Buja, sayang, istri ku, terima kasih udah bersedia ngasih hak itu ke aku, batin Satria sembari mendorong p i n g g u l nya kuat-kuat. Buja sampai meneteskan air mata. Satria usap surai rambut itu dengan lembut. Ia beri sebuah k e c u p a n manis di kening; mencoba membuat Buja supaya bisa lebih rileks lagi. “Ma-mas Sa-tri-ah ah ah ah ah mmh,“ gumam Buja. Buja cuma bisa menahan perih ini sembari meremas sprai ranjang.

Buja dan Satria tidak akan pernah melupakan malam hari ini—yang telah mereka lalui bersama. Saling berbagi cinta dan kasih sayang. Sungguh Satria merasa bahagia tiada tara. Sebuah malam—yang di mana dinantikan oleh sepasang pengantin baru pada malam pernikahan. Uh, sedikit terlambat memang. Tapi, tidak apa-apa. Bukankah sebuah kesabaran akan membuahkan hasil yang baik?

“Buja?“ panggil Satria dengan suara lembut. “Hm,“ sahut Buja lemas. Dia terlihat tidak bertenaga. Berada dalam d e k a p a n seorang Satria? Uh, not bad, batin Buja. “Besok izin libur sehari lagi, ya? Kan nemenin om kondangan, Buja?“ ucap Satria. “Hm, terserah,“ gumam Buja pelang dengan suara agak serak. Buja dan Satria r e b a h a n berdua di atas ranjang berukuran kingsize. Buja sudah kehilangan banyak tenaga setelah melakukan itu bersama sang suami tadi. Ia cuma ingin beristirahat dan tidur saja. Uh, muka gue ditaro di mana ntar coba, batin Buja malu-malu.

Embun [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang