Embun 16

2.3K 195 58
                                    

Dua menu: rendang dan sate padang. Siapalah yang tidak tau dua makanan tradisional khas Padang ini? Sangat populer hingga rendang pun pernah dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia, tetapi apapun itu masakan ibu memang selalu tiada dua. Buja mengerling. Suapan demi suapan; ia santap dengan lahap. Persis seperti orang yang belum makan selama berhari-hari; sampai-sampai ia kecup satu per satu jari jemarinya; menjilati sisa-sisa bumbu rendang. Dialah Satria. Buja juga tidak munafik—pun terdapat secercah rasa iri di hati. Ah, perasaan macam apa ini? Kan wajar? Kalo Mas Satria suka sama masakan mama sendiri?, batin Buja.

“Buja?“ seru Jamilah. Buja tersadar. Semoga Jamilah tidak menyadari lamunan Buja tadi. Buja, beliau mertua lu sendiri, jangan gitu, ah, batin Buja. “Iya, ma?“ sahut Buja berusaha tersenyum, meski agak sedikit dipaksakan, karna suasana hatinya mendadak jadi keruh bak air sungai bercampur tanah. “Tolong usahain kamu bangun pagi-pagi, trus masakin sarapan buat Satria, ya? Inget, Buja, kesehatan itu nomer satu—apalagi Satria sibuk ngantor, makan makanan di kantin kantor juga nggak terlalu bagus kalo nggak bikin sendiri,“ ucap Jamilah menasihati. “Iya, ma, nanti aku usahain bikin sarapan tepat waktu buat Mas Satria,“ sahut Buja.

“Bentar, mama mau liat-liat kamar kalian dulu, mama harus mastiin kamar kalian itu bersih dan rapi plus wangi,“ ucap Jamilah. Buja dan Satria pun saling bertatapan sebentar satu sama lain. Huft, lega lega, batin Satria dan Buja bersamaan. “Sabar,“ gumam Satria tersenyum sambil menyantap rendang. Satria berucap begitu seolah-olah ia mengerti dan paham apa yang ada di pikiran Buja saat ini. Buja pasti sedang cemburu pada mertua sendiri. Itulah yang Satria baca dari raut wajah sang istri. Seorang suami tidak hanya melulu soal dilayani dalam urusan ranjang, tetapi sebagai kepala rumah tangga—pun dituntut harus peka.

Buja dan Satria mengantar Jamilah ke halaman depan. Di sana sudah ada supir pribadi menunggu. “Buja, inget pesen mama tadi, ya? Satria? Kamu jangan gila kerja kek papa kamu, usahain luangin banyak waktu buat istri kamu sendiri, ok?“ ucap Jamilah. “Iya, ma. Hati-hati,“ sahut Satria. Sesaat setelah pintu rumah ditutup; Satria langsung mendekap sang istri dari belakang. “Buja? Diem bentar, biar mas peluk kamu kek gini,“ ucap Satria mencoba menenangkan Buja. Perlahan tapi pasti amarah dalam diri Buja mulai mendingin. “Cerita sama mas, dan keluarin semua uneg-uneg kamu entah ke mama ato ke masmu sendiri,“ ucap Satria.

Buja pun memutar badan—pun posisi masih dalam dekapan Satria. “Uhm, maafin aku, mas,“ ucap Buja meminta maaf. Tatapan sendu disertai rasa bersalah. Buja pasti benar-benar sedang dalam suasana hati yang sangat buruk. Cup. Satria memberi kecupan kecil di bibir. “Maaf, karna aku nggak bisa bikin makanan seenak punya mama,“ ucap Buja. “Dengerin mas baik-bain, Buja. Di dunia ini cuma masakan ibu kita yang paling enak, meskipun di luar sana ada ratusan ampe ribuan jenis makanan sekalipun, tetep punya ibu yang paling enak,“ ucap Satria. Buja pun membalas pelukan Satria. Bahkan aroma tubuhnya saja sangat segar terasa.

Hari ini adalah hari minggu. Husni sempat meminta ijin ingin pulang, tapi Brian malah bilang, “Bentar lagi papa sama mama aku dateng ke sini,“. Ujian apa lagi ini? Papa dan mama? Lalu, untuk apa mereka datang kemari?, batin Husni. “Huft,“ Brian menghela nafas, lalu ia pun rebahan di atas paha Husni. “Dari dulu aku suka ngebayangin rebahan di atas paha kamu, trus liatin kamu kek gini,“ ucap Brian. Dua alis Husni berkerut; mata ia berkaca-kaca. Dunia ini terasa telah runtuh; meluluhlantakkan seluruh isinya. Dunia ia telah hancur lebur; berterbangan bagai debu di udara—pun serpihan-serpihan kaca itu ikut terbawa oleh angin hingga ia pun hinggap di hati nan rapuh; melukainya perlahan hingga darah kekecewaan itu mengalir.

“Puas kamu bikin anak orang nangis?“ seru Endro dingin. Dia adalah papa Brian. Endro menatap Brian dan Husni bergantian. Tatapan itu tak elaknya bagai kilatan petir di langit. Sangat tajam. Husni mengusap air matanya. Uh, malu banget malu banget, batin Husni. Endro pun langsung menghampiri Brian, dan memberi pukulan keras di perut. Sehingga membuat Brian jadi terbatuk-batuk. Bahkan Husni sendiri sampai terkejut. “Papa restuin kamu, bukan berarti papa ijinin kamu berbuat kasar sama dia. Cinta? Tulus nggak kamu sama dia? Bisa apa kamu, hah? Papa tau kamu udah nidurin dia. Itu pun karna kamu maksa,“ ucap Endro marah-marah.

Embun [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang