Husni menahan nafas. Jujur ia benar-benar ketakutan saat ini. Sampai-sampai ia mundur ke belakang beberapa langkah. Siapa gerangan pria bertopeng ini? Sorot mata setajam belati itu pun mendadak berubah menjadi selembut kapas dan sutra. Pria itu juga sengaja mematikan lampu di kamar sehingga menjadi gelap gulita. “Husni, aku bukan penjahat, jadi tolong jangan takut apalagi ngehindar,“ ucapnya. Husni menelan ludah. Bahkan ia sampai terduduk di tepi ranjang.
Pria itu tersenyum dan menampilkan dua gigi taringnya. Bagi sebagian orang gigi taring itu terlihat sangat imut. Tapi, bagi Husni, dia terlihat seperti seorang vampir. Vam-vampir? Dia vampir? Haha i-ini kan udah abad 21? Ke-kenapa bisa ada vampir?, batin Husni. Pria itu pun berjongkok di hadapan Husni. Dia meraih satu tangan Husni lalu m e n c i u m nya dengan m e s r a. Satu tiga empat. Dia m e n c i u m tangan itu selama sepuluh detik, lalu mengusapnya dengan lembut sambil tersenyum penuh arti. Husni pun otomatis menarik tangannya sendiri.
Pria itu pun melepas topeng. Lalu, meraih pergelangan tangan Husni kembali, dan ia letakkan tangan itu di pipinya sendiri. Husni terkejut. Dia ngelepas topeng?, batin Husni. Husni tidak mampu melihat wajah pria itu dengan jelas. Puas cahaya dari luar tidak cukup untuk mengetahui siapa gerangan pria di hadapannya ini. Pria itu pun mendongak. Ia tatap wajah Husni dalam gelap—membantu tangan itu tuk perlahan meraba wajahnya dari: mata, hidung, dan bibir.
“Tunggu aku dua tahun lagi, Husni,“ ucap pria itu. Terdengar lirih dan penuh rasa bersalah. Siapa pun mungkin akan terenyuh setelah mendengar suara pria ini. “Maaf, aku masih normal. Kamu cari aja yang lain. Pergi sekarang,“ ucap Husni. “Maaf, aku nggak bisa pergi dari kamu meskipun kamu minta aku pergi seribu kali. Saat aku bilang kamu calon istri aku, dan aku calon suami kamu. Sampai akhir orang itu tetep kamu. Nggak ada yang lain. Cuma kamu Husni,“ ucap pria itu tulus. Genggaman tangan pria itu seperti mengalirkan sebuah tekad kuat dari dirinya sendiri. Gue mikir apa, sih?, batin Husni.
Cup. Tiba-tiba bibir itu mengunci bibir Husni. Begitu lembut terasa. Di mana ini? Di mana? Bagaimana bisa sebuah c i u m a n mampu membuat tubuh ini terasa ringan seperti sedang terbang di udara? Seolah terdapat ribuan kupu-kupu di perut, dan menggelitik jiwa. Husni pun jadi rebahan tanpa ia sadari. Ilmu hipnotis macam apa ini?—atau mungkin dia punya ilmu sihir? “Mmh,“ gumam Husni. Husni mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin.
“Husni, jangan coba-coba selingkuh dari aku,“ ucap pria itu. “Maaf, aku musti pergi sekarang. Kamu jangan gadang, ya?“ ucap pria itu sembari mengacak rambut Husni gemas seperti anak kecil. Pria itu pun dengan cepat melompat dari jendela. Husni mendengus. Lalu, ia pun kembali menyalakan lampu, dan bercermin. Ia menyentuh bibirnya perlahan. Be-bengkak?, gumam Husni. Sialan tuh orang!, batin Husni.
Ismiati dan Ngatminah menghampiri penjual sayur-sayuran keliling di depan rumah. “Duh, jangan ampe kampung kita dapet bala bencana cuma gara-gara satu orang,“ ucap Ngatminah sarkasme. “Bener, bu. Entah nyogok pak rt berapa ampe pak rt sendiri nggak ngusir itu orang,“ timpal Ismiati. Beberapa saat kemudian. Utami pun muncul. Berusaha tuli adalah yang terbaik untuk saat ini. Jangan pernah mencari gara-gara dengan orang lain, meski mereka mengonggong sekali pun. Diam saja, maka mereka juga akan diam karna lelah mencibir. Diam adalah emas, bukan?
Lihatlah bagaimana cara mereka berusaha menjatuhkan keluarga besar Utami; melempar api padahal mereka lah yang sedang melempar api pada diri mereka sendiri. Tunggu saat di mana mereka akan hangus terbakar. Lihat saja. Tuhan juga tidak tidur. “Berapa mas?“ ucap Utami setelah selesai memilih belanjaan yang ingin ia beli. “28rb bu,“ sahut si penjual. Ngatminah sebal. Utami terlihat acuh. “Ehem, langgeng ya, bu? Anaknya?“ cetus Ngatminah. “Tantu sajo, bu,“ sahut Utami tersenyum.
Sesuai pesan dari Ghufron. Utami diminta untuk menghindari konflik sebisa mungkin. Toh, tidak ada gunanya meladeni mulut-mulut pedas, dan tidak berpendidikan seperti mereka. Diam adalah pemenang sesungguhnya. Ismiati dan Ngatminah urung jua tuk menyerah. Lihat bagaimana cara mereka mencoba mencegah Utami pergi. Ismiati meraih lengan Utami hingga membuat belanjaan Utami jatuh ke tanah. Ismiati tersenyum puas. Terlebih saat ia melihat Utami memungut belanjaannya itu di tanah.
“Bu, kalo mau ngemis jangan gini amat deh?“ ucap Ismiati. Utami pun berdiri tegap dan percaya diri. Dia juga tersenyum. Tiada marah di hati. Buat apa? Itu cuma hanya akan menyiksa diri sendiri saja. Berlapang dada lebih baik, bukan? Itulah ajaran dari sang suami. “Bu, jan lupo, ibu jua punyo anak laki-laki. Kok suatu wakatu anak ibu jua suko samo cowok baa?“ ucap Utami membuat Ismiati tertohok. “Indak akan!“ ucap Ismiati tegas. Secercah perasaan cemas pun hinggap di hati Ismiati. “Bu, aku duluan, ya?“ ucap Ismiati ke Ngatminah. Dia malah pulang lebih dulu sesaat setelah mendengar Utami bicara.
“Iqbal? Iqbal?“ seru Ismiati. Iqbal pun keluar dari kamar. “Iya, bu?“ sahut Iqbal. “Sini dulu, ngobrol sama ibu,“ ucap Ismiati meminta Iqbal duduk di ruang tengah; berdiskusi bersama. “Iqbal, jujur sama ibu. Kamu.. Kamu suka sama cowok?“ cerca Ismiati. Iqbal pun terdiam. Iqbal diam bukan karna ia membenarkan hal ini. Soal hati siapa yang tau? Iqbal juga tidak bisa memprediksi dengan siapa ia akan jatuh cinta di masa depan. Tapi, mengapa sang ibu tiba-tiba bertanya seperti itu? Iqbal mengerutkan dahi. “Dek ibu tiba-tiba tanyo baitu?“ tanya Iqbal.
“Jawab aja, Iqbal,“ sahut Ismiati. Iqbal menghela nafas. “Maaf, aku nggak bisa mastiin itu, bu. Maksud aku di sini, aku nggak bisa mastiin, di masa depan aku bakalan suka sama siapa, dan aku juga nggak bakalan ngebatesin diri aku sendiri harus dengan yang sejenis atau lawan jenis,“ sahut Iqbal. Ismiati terlihat geram. Jawaban Iqbal memang terdengar ambigu. Tapi, tidakkah semua itu juga memiliki kemungkinan besar dan kecil? “Inget, jangan ampe kamu bikin malu ibu sama bapak, Iqbal,“ ucap Ismiati—pun langsung berlenggang ke dapur.
Iqbal pun melepas kacamata minus. Pembicaraan tadi cukup serius. Entah angin dari mana—yang membuat Ismiati tiba-tiba membahas hal mendalam seperti itu. Jatuh cinta, ya? Saat ini tiada sesiapa pun—yang menarik hati. Teman satu jurusan bisa dibilang cantik-cantik. Beberapa di antara mereka juga ada—yang telah mengutarakan perasaannya kepada dirinya. Entah bagaimana Iqbal sama sekali tidak bisa membalas perasaan mereka. Kalau pun ia memiliki kecenderungan abnormal; setidaknya akan ada seseorang yang ia lirik, dan membuatnya tertarik dari kalangan sejenis. Tapi, ini tidak ada sama sekali.
Setengah jam sebelum Satria pulang. Dia mengirim sms kepada Buja. Dia meminta Buja untuk memesan beberapa menu makanan sehat—pun jangan sampai tertinggal tiga jenis buah-buahan wajib seperti: semangka, melon, dan stroberi. Itu semua adalah buah terfavorit untuk Satria. Hampir setiap hari dia makan buah-buahan yang sama. Di rumah, Buja menata piring-piring di atas meja makan. Hampir jam lima sore. Satria kemungkinan sampai di rumah pada jam lima sore lebih.
“Uhm ma-mas pep-pel-ah-nihn ngh ah ah ah mmhh peh-lahn-pehn-lahn aaahhh,“ gumam Buja saat tadi malam. Buja jadi panas dingin; mengingat bagaimana ia mengeluarkan suara-suara indah itu hingga menggema ke seluruh ruangan kamar. Bisa-bisanya gue keinget bangsat bangsat bangsat, batin Buja. Tring tring tring. Suara bel pun terdengar. Pasti itu adalah Satria. “Tunggu,“ seru Buja. Pintu pun terbuka lebar. Buja malah mematung. “Om? Uhm.. Kenapa nggak masuk?“ ucap Buja ambigu. Lebih tepatnya dia sedang salah tingkah.
“Kamu ngalangin pintu gimana om mau masuk, Buja?“ sahut Satria. Buja malah diam mematung di depan pintu sambil menatap Satria. Cup. Satria pun m e n g e c u p pipi Buja sekilas; membuat Buja semakin salah tingkah dan deg-degan. “I-iya,“ sahut Buja, lalu geser sedikit. Lagi-lagi Buja menghindari tatapan Satria. “Buja?“ seru Satria. “Hm?“ gumam Buja. “Nggak jadi,“ ucap Satria. Sebenarnya Satria ingin sekali meminta Buja untuk membantu melepas dasi, jas, atau kemeja. Namun, ia urungkan niat itu begitu saja.
Dasar aneh, batin Buja. “Hm? Kamu yang nata-nata ini piring?“ ucap Satria. Dia tertegun melihat piring-piring di atas meja ini tersusun rapi. Buja pun menganggukkan kepala. “Siapa lagi kalo bukan aku,“ sahut Buja. Satria hampir saja ingin duduk di kursi, tapi malah dicegah oleh Buja. “Ganti baju dulu,“ ucap Buja. “Hah?“ gumam Satria bingung seperti orang bodoh. Buja pun menghela nafas. “Ganti baju dulu baru makan,“ ucap Buja. Satria m e n c i u m-c i u m area ketiak. Hm, nggak bau kok?, batin Satria.
“Baju om wangi kok? Nggak bau,“
“Iya tau~ Tapi, bekas seharian kerja kena debu. Ganti baju dulu sana,“
“Tapi, om udah laper banget, Buja,“
“Ganti baju dulu. Ganti baju dulu nggak? Hm?“
Buja menatap Satria dengan tatapan membunuh. Hm, kenapa Buja terlihat seperti tokoh seorang istri yang sangat galak seperti di film-film?, batin Satria. Satria benaran tidak bisa membantah. Satria pun ke kamar sebentar untuk ganti baju. Satria juga tersenyum saat ia menutup pintu lemari. Begini rasanya jatuh cinta setelah sekian lama?, batin Satria deg-degan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun [BL]
RomanceBercerita tentang sebuah pernikahan tiba-tiba dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi, malah bertemu untuk pertama kali di pernikahan sendiri.