“Kamu tidak harus memberiku kesempatan, tetapi kamulah yang harus memberi dirimu sendiri kesempatan untuk mengenalku,“
— Kamol —
***
Perjumpaan nan singkat tak disangka berubah menjadi lembaran cerita. Di manakah ujung dari cerita ini? Husni membiarkan benaknya berkabut, bahkan jalan setapak—yang menjadi satu-satunya jalan tuk ia lalui tak dapat ditembus oleh penglihatan lahirnya. Husni tak tau ke mana ia harus pergi, bahkan kedua kakinya terlihat pasrah. Dua netranya hanya dapat melihat sosoknya—yang menggenggam tangannya; membimbingnya tuk melewati jalanan yang berkabut ini. Dialah yang paling dekat oleh jangkauan netranya. Brian. Dia bernama Brian. Begitulah bibirnya biasa memanggil namanya alih-alih memanggilnya dengan sebutan si bodoh. Husni juga tak sekejam itu.
Setibanya ia di rumah yang didominasi dengan warna abu-abu dan kayu pun seakan memanjakan matanya. Pagarnya terbuat dari kayu, sedangkan lantainya tersusun dari batu-bata yang abu. Di samping kanan dekat dinding pembatas—juga terdapat pohon—yang daun-daunnya masih berupa pucuk di tiap ujung rantingnya. Husni memuji keindahannya dalam hati. Jika dibandingkan dengan rumahnya tentu saja masih belum ada apa-apanya yang jauh dari kata besar dan mewah seperti halnya rumah yang ada di hadapan ia saat ini.
“Go!“ seru Brian.
Brian pun mempersilahkannya untuk masuk ke dalam. Sunyi. Itulah kesan pertama saat ia pertama kali masuk ke dalam rumah ini—pun samar-samar tercium aroma bumbu rendang yang khas yang membuat perutnya meronta-ronta ingin segera diisi. Husni berkata jika ia mencium aroma masakan—yang meluluhlantakkan kesejahteraan perutnya. Brian pun menjawab jika sang ibunda tengah memasak di dapur. “Eh? Husni?“ seru Erlina. Erlina menyambut kedatangannya dengan kedua mata yang berbinar-binar. “Silahkan duduk,“ ucap Erlina tersenyum. Husni tertegun melihat wajah ceria ibunda Brian. Saking cerianya, rasanya seperti sedang melihat sosok remaja di dalam tubuh wanita dewasa.
“Oh, iya, ma? Husni malem ini nginep di sini,“
“Serius? Perlu ngabarin papa, nggak?“
“Nggak usah deh, ma. Bisa berabe kalo pake acara ngabarin papa segala,“
Brian pun menggantungkan jaket miliknya di kursi seraya tersenyum kepada Husni. Kemudian, ia pun mencuci tangannya, dan memasang sarung tangan plastik. Husni tertegun. Brian bak seorang chef profesional yang di mana ia membantu ibundanya memasak. Dari cara ia memotong sayur-sayuran pun sangat ketara sekali jika ia memang sudah mahir di dapur. Husni pun merasa candala, sebab di usianya yang menginjak sembilan belas tahun—pun tak pernah menyentuh dapur sama sekali. Dari manakah Brian mempelajari keahlian memasaknya itu?
Sebenarnya ia pun tak enak hati, karna hanya berdiam diri tanpa berinisiatif membantu sedikit pun. Lagipula bagaimana cara supaya dirinya dapat membantu? Jika mengiris bawang saja ia tak tau caranya sama sekali. “Husni?“ seru Erlina seraya menyajikan rendang di atas meja. Seketika kedua mata ia pun berbinar-binar setelah sebelumnya mencium aroma bumbunya dari luar. Husni menelan ludah. Husni ngiler! Demi apa pun ia ngiler setengah mati! “Husni?“ seru Erlina lagi terkekeh. Husni terkesiap. Uh, malu-maluin benget, sih?, batin Husni. Bagaimana bisa ia melamun di depan makanan hingga mengabaikan seruan orang yang lebih tua darinya?
“Udah laper banget, ya?“ goda Erlina.
“La-laper, sih, tante, tapi aku minta maaf, karna nggak bantuin tante masak sama sekali,“ sahut Husni jujur jika dirinya benar-benar sedang lapar.
Brian tersenyum di sana sambil mencicipi acar buatannya yang terdiri dari: kol, wortel, dan nanas. Di mana ada rendang di situlah ada acar. Itulah prinsip ia ketika menikmati salah satu menu makanan Khas Padang yang menjadi salah satu makanan terlezat di dunia. Brian tersenyum sebab penampakan Husni yang bengong dan melamun di depan makanan amat sangat menggemaskan. “Soalnya aku nggak bisa masak tante,“ ucap Husni jujur sekaligus malu-malu tuk mengakuinya. “Udah nggak papa.. Gini aja deh kalo kamu pengen bantuin tante. Uhm, kalo gitu tolongin siapin piringnya, yah?“ sahut Erlina. Husni pun menganggukkan kepala dengan cepat sebagai tanda, bahwa ia setuju. Setidaknya keberadaan ia di sini dapat sedikit berguna walaupun hanya menyiapkan piringnya saja di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun [BL]
RomanceBercerita tentang sebuah pernikahan tiba-tiba dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi, malah bertemu untuk pertama kali di pernikahan sendiri.