Embun 05

2.8K 286 11
                                    

Husni Hartono. Dia adalah seorang mahasiswa berusia 17 tahun jurusan akuntansi. Dia bersantai sendirian di sebuah gazebo kampus. Suasana hangat, dan sejuk ia rasakan secara bersamaan. Sebuah air mancur di dekat gazebo itu membuat mata terasa begitu segar—pun memberikan perasaan tenang. Bisa dibilang ia sering menghabiskan waktu sendiri, dibandingkan harus berkumpul bersama teman-teman satu jurusan atau bukan sekali pun. Kalian tau? Saat mereka berkumpul bersama-sama, hanya akan ada dua topik bahasan saja, yaitu: mau jalan ke mana dan shopping di mana. Terlebih saat ada destinasi wisata terbaru. Pasti mereka akan membicarakannya tanpa henti.

Husni memang bukanlan orang dari keluarga yang kaya raya. Dia cuma dari keluarga biasa-biasa saja. Pembicaraan orang-orang kaya yang terlalu tinggi hingga ke langit ke tujuh itu membuat ia enggan untuk berada di tengah-tengah mereka. Berbicara mengenai gengsi. Sungguh tidak pernah sekali pun ia gengsi—apalagi malu. Ia cuma ingin menghindari lingkaran pertemanan—yang membawa pengaruh negatif saja. Benar. Husni tidak seharusnya menyamaratakan mereka seperti itu. Tapi, apa mau dikata? Seorang introvert cuma ingin melakukan segala sesuatu sendirian saja, itu sudah cukup.

Drrt drrt drrt. Hp Husni berdering. Itu cuma pemberitahuan bahwa ada status baru dari facebook dan instagram. Hampir saja ia ingin mematikan layar hp itu, dan menaruhnya kembali di lantai gazebo. Namun, ia urungkan. Husni mengerutkan alis. Tumben sekali si tengil ini update status di instagram?, batin Husni. Husni penasaran. Hingga ia pun mencoba membuka aplikasi tersebut; melihat postingan apa yang telah diposting oleh seorang Buja? “Bareng sama siapa nih anak?“ batin Husni. Di foto itu, ia melihat Buka bergandengan tangan begitu m e s r a dengan seorang pria.

Selama ini Buja cuma aktif di laman facebook saja. Bahkan foto terakhir yang ia upload di instagram adalah foto tahun lalu. Heh, kesambet apa nih anak ampe posting foto pertama kali di ig? Sama cowok pula?, batin Husni. Husni juga sudah lama sekali tidak membuka akun facebook sendiri, karna memang ia lebih sering online di instagram. Husni jadi lebih tercengang lagi; melihat setiap postingan yang Buja posting mendadak mendapat seratus like lebih. Husni penasaran hingga ia pun menggeser layar hp ke atas.

Ia penasaran apakah mungkin Buja sudah pindah rumah setelah mendapat bantuan dari acara bedah rumah di TV? Tapi, kalau dilihat-lihat lagi lebih teliti, ini tidak terlihat seperti acara bedah rumah biasa, melainkan rumah pribadi. Gede banget?, batin Husni berdecak kagum. “Husni~“ seru Fadhli bernada. Di luar dugaan, dia juga membawa dua orang temannya, yaitu Sa'adah dan Taqim. Husni juga tidak terlalu dekat dengan mereka—pun sesekali bertemu dan berselisih pundak saja.

Hati kecil Husni berkata, dua orang itu bukanlah orang baik-baik. Satu terlihat lugu dan polos, satu lagi terlihat banyak gaya dan sok. Heh, bisa-bisanya si Fadhli punya temen modelan kek gini?, batin Husni. “Lu liat fb si Uja nggak?“ ucap Fadhli. Fadhli terlihat sangat antusias—juga terkejut. Jadi, ia juga ingin memastikan; apakah Husni juga tau hal ini atau tidak. “Kenapa emang?“ tanya Husni. Jujur suasana hati Husni mendadak jadi jelek, saat melihat dua orang itu. “Dia—Uja.. Itu foto suami dia,“ sahut Fadhli. Fadhli berpura-pura bersimpati pada Buja. Padahal ia sedang iri dan dengki.

Beruntung Husni juga tidak semudah itu tuk bisa membaca mimik wajah Fadhli. Entah sejak kapan rasa benci itu mulai tumbuh di hati Fadhli. Buja? Cuih! Dia cuma seorang pengangguran. Dia saja tidak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jadi, bisa disimpulkan, bahwa dia emang orang miskin, kan? Haha, batin Fadhli. Entah bagaimana ceritanya keberuntungan itu singgah dalam kehidupan Buja. Fadhli akui dia begitu sangat beruntung. Cih! Dilihat dari postingan di fb—pun Fadhli tau rumah itu jauh lebih besar dan megah dari rumah miliknya

“Oh? Gitu? Trus?“ sahut Husni malas. Sa'adah pun duduk di sebelah Husni. Berdiri terlalu lama juga kakinya pegal. Terlebih ia sedang mengenakan high heels. Ia memperhatikan Husni dari samping. Uh, kalo diliat-liat ganteng juga, ya?, batin Sa'adah. Beruntung sekali dirinya bisa berteman dengan Fadhli. Lihatlah teman-teman Fadhli; mereka rata-rata memiliki paras yang sangat tampan. Berbeda jauh dengan lingkaran pertemanan Sa'adah. Sebagian besar di antara mereka terlalu percaya diri, dan penuh dengan omong kosong belaka, tapi tidak sadar diri.

“Gue cuman kaget doang. Err masa dia nikah sama cowok, sih? Kek nggak ada cewek lain aja?“

“Itu urusan dia lah. Gue ato lu nggak usah terlalu kepo, ato ikut campur urusan dia. Toh, setiap orang bahagia dengan cara masing-masing,“

“Gue cuman nggak abis pikir aja gitu, Hus. Uhm, rada gimana gitu,“

“Nggak usah banyak mikir. Lu fokus kuliah aja. Ntar kita interogasi si Uja,“

Husni merapikan barang-barang miliknya, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sa'adah heran; mengapa Husni malah seperti ingin pergi dari sini. Jangan bilang kalo dia risih sama gue? Tapi, nggak mungkin, deh? Secara dari muka ampe penampilan gue ok ok aja kok?, batin Sa'adah. “Eh? Udah mau cabut aja?“ celetuk Sa'adah basa-basi. Husni pun menoleh. “Hm,“ sahut Husni dengan deheman saja. “Fadh, gue cabut duluan,“ ucap Husni. Fadhli tersenyum kecut. Jangan lu kira gue nggak tau, gue tau lu ngehindarin gue, Hus, batin Fadhli.

Buja dan Satria telah berada di dalam mobil. Sebelum Satria mulai melajukan mobilnya, ia pun berkata, “Om dapet undangan resepsi pernikahan rekan bisnis om besok, Buja. Jadi, tolong temenin om, ya?“ ucap Satria. “Hm,“ sahut Buja. Dia sedang sibuk membalas satu per satu komentar di facebook. Tentu saja beranda facebook dia ramai, karna postingan foto kebersamaan antara dirinya dan Satria. Di postingan tersebut, Buja juga menambahkan tagar 'Suami Idaman'. Hal itu pun menuai pro dan kontra.

Saat sang suami tengah menyetir, ia pun mengarahkan kamera ke arah setir. Ia membuat video berdurasi lima detik—yang di mana sang suami memutar setir tersebut dengan gagah. Seumur-umur ia tidak pernah naik mobil sama sekali, kecuali naik bis saat liburan sekolah dulu. Tanpa babibu. Video tersebut pun ia posting di story fb dan ig tanpa caption apapun. “Om,“ seru Buja. “Hm?“ sahut Satria. “Kerjaan om apa, sih? Kok om bisa banyak duit gitu?“ tanya Buja penasaran. Jujur hingga saat ini pun ia belum tau menau tengang profesi sang suami. “Om anggota DPR, sama ada bisnis kecil-kecilan,“ sahut Satria.

Buja beroh ria. Jalanan ramai lancar. Puluhan kuda besi itu berlalu-lalang tanpa henti menghiasi jalanan Sipora Utara. Para pedagang—yang menjual berbagai macam cemilan dan makanan itu pun berjejer dengan rapi di pinggiran kota. Tanpa rasa lelah apalagi mengeluh, mereka setia duduk menunggu pelanggan membeli jajanan mereka. Satria menoleh. Sorot mata berbinar dan lapar Buja, sang istri, ia tau bahwa Buja pasti sangat ingin mencicipi salah satu jajanan itu.

Satria pun menepi; membuat Buja terkejut; mengapa mobil ini tiba-tiba berhenti? Perjalanan masih panjang—pun sudah sore hari. Bagaimana kalau nanti mereka malah tiba saat malam hari? Uh, badan Buja juga sudah pegal-pegal sekali. “Kok berenti om?“ ucap Buja. “Om mau beli sesuatu dulu,“ sahut Satria. Satria tidak lantas langsung mengatakan ingin mengajak Buja bersantai terlebih dahulu—atau memang ingin membelikan Buja makanan. Tapi, ia berdalih bahwa dirinya lah yang ingin makan makanan tersebut.

“Es duriannya satu bang,“ ucap Satria. Buja melihat satu per satu para pedagang di sini. Ia mencoba mencari; kira-kira makanan apa yang dapat menggugah selera. Uh, aroma harum dari roti bakar itu pun langsung menembus indera p e n c i u m a n Buja. “Buja? Kamu mau makan apa?“ tanya Satria. “Roti bakar,“ sahut Buja. Satria merasa jarak antara dirinya dan Buja terlalu jauh. Lalu, ia pun menarik lengan Buja perlahan. Sehingga bisa lebih dekat lagi dengan dirinya. Suami mana yang mau berjauh-jauhan dengan istri sendiri? Terlebih tatapan lapar para gadis di jalanan ini, sedikit banyak membuat hati Satria jadi panas dan mendidih.

Embun [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang