Embun 18

864 88 10
                                    

“Gue keknya tau dari mana sifat polos Buja berasal. Satria the best banget sih. Dia bener-bener mendukung pendidikan istrinya ampe rela bela-belain ngedatengin beberapa kampus.“

***

Senja kala itu mulai membentuk siluet-siluet; di langit jingga itu pun burung-burung berterbangan tuk kembali ke tempat mereka berasal dan tinggal. Begitu pula para pengembara nafkah yang berbondong-bondong pulang ke rumah mereka masing-masing; ada yang disambut oleh anak dan istri—pun juga ada yang disambut oleh ibundanya serta ayahandanya. Letih yang bertabur peluh sepanjang hari terasa tiada arti lagi.

Ghufron mengetuk pintu beberapa kali setelah mengucapkan salam. Utami pun melangkahkan kakinya cepat-cepat menuju pintu depan. Uh, rasanya diri ini sudah tak sabar; menanti kepulangan suami. Pintu pun terbuka lebar dan menampakkan senyuman istrinya yang tak kalah lebar dan sumringah. “Bini ko bana rancak iko,“ ucap Ghufron menggoda sang istri. Utami pun tersipu malu hingga membuat kedua pipi ia memerah. “Ehem itu papa bawain mama apa?“ tanya Utami. Ghufron tak lantas langsung menjawab pertanyaan sang istri, melainkan duduk di kursi terlebih dahulu sembari meletakkan bungkusan plastik berisi makanan itu di atas meja.

“Kan mas udah bilang? Panggil mas aja kalo ga ada Buja,“ ucap Ghufron.

Ghufron cuma sekedar mengingatkan saja. Uh, barangkali Utami lupa? Benar, kan? Hm, bukankah Utami memang benar-benar lupa sekarang? Utami pun mengulum bibirnya, karna lupa terhadap permintaan Ghufron yang satu itu. Ghufron pernah berkata, bahwa romantisme bukan cuma milik remaja—apalagi orang kaya. Bukan jua milik pujangga yang mahir berkata-kata. Sebab istri dan suami juga berhak tuk memilikinya—juga tak mengenal usia. Bukankah begitu? Ghufron pun bersandar di kursi setelah menghembuskan nafas panjang sepali. Bagaimana tidak? Ghufron bekerja menjadi kuli bangunan mulai dari matahari terbit sampai terbenam lagi. Sudah pasti ia merasa sangat letih sekali.

“Itu ada gorengan, dek,“ ucap Ghufron seraya menyalakan kipas angin.

Lagi dan lagi ucapannya itu membuat sang istri tersipu.

“Jangan jajan mulu napa, mas? Ditabung gitu, lho!“ ucap Utami.

“Sekali-sekali,“ tukas Ghufron.

Utami tak sampai hati; melihat betapa letihnya sang suami dari peluh yang menetes di pelipisnya. Terbesit di benaknya tuk menyarankan Ghufron membuka usaha sendiri dibandingkan bekerja di tempat orang. Entah bagaimana tanggapan Ghufron nanti. Hm, coba tanyain dulu deh, batin Utami. “Uhm, mas?“ gumam Utami. Ghufron cuma mengangkat sebelah alisnpa seakan-akan mengisyaratkan agar Utami segera menyampaikan maksud yang hendak ia sampaikan melalui tatapan matanya. Utami pun mengutarakan maksud hatinya pada Ghufron. “Itu.. Gimana kalo mas buka usaha sendiri?“ ucap Upami. Ghufron pun bertanya dari manakah ia harus mendapatkan modal jika ingin mendirikan usaha sendiri? Sejurus kemudian Ghufron pun mengernyitkan alis setelah Utami menyarankan tuk menggunakan uang pemberian dari Satria sebagai modal usaha.

“Mas ga setuju,“ ucap Ghufron menunjukkan ketidaksetujuannya.

“Kan itu uang pemberian Satria, mas? Trus apa salahnya kalo dipake buat buka usaha? Ga setujunya kenapa coba?“ cerca Utami.

Ghufron pun menghela nafas.

“Justru karna itu uang pemberian Satria, dek. Mas ga mau pake,“ sahut Ghufron.

Tak pernah terbesit di pikiran ia tuk menyentuh uang pemberian dari sang menantu. Bagi ia harga diri lebih utama. Bukan jua tak menghargai niat baik dari ia yang bergelar menantu, Satria D. Perdana. Ghufron hanya ingin menunjukkan bagaimana keluarga ia yang sederhana ini bersahaja serta berbudi pekerti luhur dengan mempertahankan prinsip kehidupan. Lebih lagi ia tak ingin dicap sebagai keluarga matre. Bukan jua warna bibir-bibir nakal tetangga, melainkan tuk menjaga hubungan baik antar dua keluarga yang telah menjadi besan.

Embun [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang