Embun 04

3.1K 327 13
                                    

Tetesan-tetesan embun itu mulai membasahi malam. Dia membuat bumi ini mampu merasakan betapa sejuknya akan kehadirannya. Tapi, berapa banyak jua orang yang abai—atau mungkin tidak menyadari kehadirannya? Dialah embun; tidak berharap sesiapa pun untuk tau akan kehadirannya; hadir begitu saja, dan tidak pernah lelah untuk terus menebar kesejukan itu, hingga membuat penduduk bumi ini terlelap, dan terus mengulurkan selimut ke seluruh badan.

Diam-diam pria dengan tinggi 180cm itu berdiri di depan pintu kamar sang pujaan hati. Ia tatap pintu kaca dengan ornamen kayu jati di setiap sisinya itu dengan hati yang penuh harap. Sungguh diri ini ingin sekali m e r e n g k u h tubuh itu saat terlelap hingga ia terbangun lagi pada pagi hari. Tapi, saat ia kembali tersadar akan kenyataan, bahwa sang pujaan hati belumlah sepenuhnya memberikan hatinya kepada dirinya. Satria juga tidak bisa berbuat banyak.

Hah, inikah definisi mencintai dalam diam? Terlihat bodoh dan melelahkan, bukan? Perlahan tapi pasti. Satria mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu kamar itu dengan kunci cadangan. Gelap. Dia rupanya suka tidur dalam keadaan gelap, ya?, batin Satria. Satria pun menghampiri tempat tidur Buja. Seulas senyum tipis nan tersirat sebuah ketulusan itu pun terukir di bibir dengan philtrum bulat. Cup. Satria m e n g e c u p kening Buja sangat lama. Semoga Buja tidak terbangun, batin Satria.

Setelah itu Satria pun keluar dari kamar. Buja terlelap pulas sekali. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Satria. Di luar pintu kamar itu, Satria tersenyum sembari menyentuh bibir sendiri. Ini adalah kali kedua ia m e n c i u m Buja, meski cuma di kening saja. Itu pun sudah cukup membuat hati Satria berbunga-bunga. Sudah sangat larut, ia pun memutuskan untuk kembali ke kamar sendiri, membawa sejuta bunga-bunga di hati ke dalam mimpi. Berharap seiring berjalannya waktu; Buja dan dirinya bisa lebih dekat lagi.

Sinar mentari mulai menembus celah-celah di langit-langit kamar ini—pun melalui pias kaca; entah itu jendela atau pintu. Lihat, penginapan di sini berhadapan langsung dengan pantai. Benar. Itu adalah Pulau Siburu. Pulau ini juga disebut dengan pasir timbul. Kalian tau mengapa? Karna saat pulau ini surut, maka akan terlihat hamparan pasir putih bersih di tengah-tengah. Sangat unik sekali, bukan? Terlebih ombak di pulau ini juga sangat bagus dan menantang dengan ketinggian empat sampai enam meter. Itulah mengapa banyak para wisatawan berselancar di pulau ini.

Hal pertama yang Buja cari sesaat setelah ia bangun tidur ialah benda berbentuk persegi itu. Mana, sih?, batin Buja. Ia mencoba meraba-raba ke samping—pun nakas, tapi nihil. Kemana benda itu pergi? Huh, mau males-malesan di kasur aja nggak bisa, gerutu Buja dalam hati. Ia terpaksa turun dari ranjang. Uh, ranjang ini benar-benar sangat empuk dan nyaman. Sehingga membuat Buja tertidur pulas. Ia pun berdiri sembari menyingkirkan selimut itu dari atas kasur. Ternyata memang ada di balik selimut.

Sorot mata Buja tiba-tiba memandang keluar sana. Dari sini ia mampu melihat, bagaimana ombak di lautan menari-nari dengan indah, dan para peselancar yang begitu pandai meliuk-liukan papan selancarnya di atasnya. Keren, batin Buja. Belum gosok gigi apalagi cuci muka. Buja langsung keluar begitu saja. Deru ombak di lautan terdengar hingga ke pesisir. Terdengar indah seperti irama sebuah lagu—pun aroma laut yang berasal dari alga di permukaan laut ini menyeruak; membuat siapa saja candu untuk terus datang kemari.

Buja terlalu asik mengagumi lautan nan biru itu. Hingga ia hampir saja melupakan seseorang, yaitu suami sendiri, Satria. Eh? Om Satria ke mana, ya?, batin Buja. Buja melirik ke kiri dan ke kanan. Hm, tidak ada siapa pun. Lalu, ia pun mencoba berkeliling area sekitaran pantai—pun tidak lupa menjepret penginapan itu terlebih dahulu, lalu ia posting di sosial media. Penginapan dengan tarif 2,1jt per malam itu pun tentu saja mengundang rasa penasaran teman-teman Buja di facebook ataupun instagram. Dari mana Buja mendapatkan uang untuk bisa berlibur di tempat mahal seperti itu? Dia itu pengangguran. Jangan bilang kalau Buja melakukan pesugihan?

Buja juga mendapatkan beberapa komentar negatif. Ia dituding sebagai seorang penjilat dan melakukan pesugihan. Penjilat? Pesugihan? Heh, sorry lah ya, gue udah nikah sama om-om berdompet tebel, asal lu lu pada tau aja, batin Buja bangga. “Gue musti cari itu om,“ gumam Buja mencoba mencari-cari keberadaan Satria. Para peselancar itu rupanya begitu menarik perhatian Buja. Lihatlah bagaimana dua bola itu terus berdecak kagum, memandangi para peselancar di tengah lautan sana. Buja sampai mematung—pun menikmati deburan ombak kecil di kakinya.

Hampir saja Buja ingin bertepuk tangan. Tapi, bukankah akan jadi terlihat sangat aneh? Jikalau dirinya bertepuk tangan seorang diri saja di sini? Beberapa saat kemudian. Satria pun tiba di tepian, lalu ia pun menghampiri Buja. “Buja?“ seru Satria. Satria cuma mengenakan celana pendek di atas lutut dengan warna senada dengan air laut. Buja tercengang melihat betapa pahatan-pahatan di tubuh Satria terlihat sangat sempurna. Terlebih kulit coklat eksotis itu membuat Satria terlihat sangat gagah.

“Uhm,“ gumam Buja. “Kenapa? Hm?“ tanya Satria lemah lembut. Buja tidak tau harus mengatakannya dengan cara apa. Jujur ia berniat ingin meminta Satria untuk selfie berdua, lalu diposting di akun sosial media pribadi. “Buja? Bilang aja sama om,“ ucap Satria. Tentu saja Satria tau dari gelagat Buja—yang seperti sedang ingin mengatakan sesuatu kepada dirinya. Tatapan serta gerak bibir memang tidak bisa berbohong. Jujur dari dalam hati yang paling dalam; Satria berharap Buja bisa memanggil dirinya dengan sebutan mas, bukan om. Uh, manisnya, batin Satria.

Uh, bagaimana bisa dia terlihat sangat manis seperti itu? Jantung Satria berdegup kencang. Dua pasang bola mata itu pun bertemu. Berdiri di hamparan pasir putih—yang membentang di sepanjang Pulau Siburu. Hembusan angin begitu terdengar merdu di telinga—juga membuat surai rambut itu ikut bergerak. “Selfie berdua.. Bisa?“ ucap Buja sekaligus bertanya. “Om? Om Satria?“ seru Buja lagi. “Uhm, bo-boleh,“ gumam Satria baru saja tersadar dari lamunannya itu. Bagaimana bisa aku tidak terpesona dengan istri sendiri? Dia terlihat sangat polos saat pagi hari, batin Satria memuji.

“Tunggu dulu, uhm, kalo aku posting di sosmed gimana? Errr om nggak marah?“ ucap Buja ragu-ragu. Satria diam sebentar. Buja berpikir bahwa Satria sedang marah; dilihat dari bagaimana ia diam setelah Buja berkata seperti itu. “Kenapa om musti marah, Buja? Terserah kamu aja, yang penting kamu seneng,“ sahut Satria. Buja pun jadi lebih bersemangat. Ia mengambil beberapa foto selfie bersama Satria—pun meminta tolong kepada orang lain untuk menjepret keduanya. Bisa sedekat ini dengan istri sendiri. Satria bahkan mampu m e n c i u m aroma khas dari sang istri. Benar-benar membuat seorang Satria candu.

Embun [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang