Chapter 19

3.3K 161 3
                                    

Api yang berasal dari pematik keperakan itu membakar ujung rokok yang disematkan pada kedua jari. Dengan sekali hisapan, dan hembusan nafas yang panjang kepulan asap rokok menyerbak membawa aroma tembakau bercampur mint memenuhi salah satu kamar di dalam kapal pesiar ini. Pemuda berambut orange yang sejak tadi diam di dalam kapal itu menatap pulau di depannya sebelum menghempaskan punggungnya ke kursi. Tidak ada yang dia lakukan selama beberapa saat tadi selain berperilaku demikian, walaupun sebuah laptop yang menyala terpampang di depannya.

Kreeeekkkk...

Pintu geser-tempat pemuda itu beristirahat terbuka.

"Sudah berapa bungkus yang kau habiskan, Pain? Astaga! Apakah kau tidak sadar jika kalahnya kita bermain basket karena kau terlalu banyak merokok akhir-akhir ini hingga nafasmu tidak kuat," Kisame mendengus melihat tingkah temannya, "Pain, ini tidak baik untuk kesehatanmu. Terakhir kali aku melihatmu seperti ini adalah ketika kau mengetahui jika kau mempunyai seorang adik."

Pain menggosokan puntung rokok pada asbak di dekatnya, meninggalkan rokok tersebut bersama sisa puntung rokok lainnya. Kemudian, pemuda yang hanya mengenakan kemeja berwarna putih dengan keadaan berantakan itu menyeruput kopi hitam yang mulai mendingin dan sejak tadi di simpan di atas meja-samping laptop-nya. Ia fokus kembali pada laptop di depannya. Berkonsentrasi pada pekerjaan yang berminggu-minggu ini dikerjakan olehnya, namun pekerjaan itu belum selesai jua.

Tingkah Pain membuat Kisame khawatir. Pria itu menghampiri temannya.

"Sudahlah, Pain," kata Kisame, "Semua akan baik-baik saja. Kau tidak usah seperti ini. Dia akan baik-baik sa-apa yang kau lakukan?!" seru Kisame ketika melihat isi layar laptop Pain. "Apa maksudnya semua ini, Pain? Kau bekerja tanpa memberi aba-aba pada kita semua?! Kau bekerja sendiri?!"

"Berisik. Kau keluarlah!" Pain mengusir Kisame dengan pelan.

Kisame memijat-mijat pelipisnya. "Wanita itu sudah membuatmu gila, Pain," desisnya.

"Keluarlah, aku sedang tidak ingin berdebat," Pain menyeruput kembali kopi di dekatnya. Desahan lega terdengar dari bibir membiru karena kedinginan itu.

Kisame tidak mendengar perintah Pain. "Kau meretas banyak sistem di akhir-akhir ini yang jelas-jelas bukan untuk kebutuhan pendidikan kelompok kita maupun keutungan orang lain, melainkan kau benar-benar akan membuat kita sebagai lamer (hacker tingkat terendah) yang hanya tahu bagaimana caranya merusak sistem keamanan orang lain!" kesabaran Kisame yang sudah habis membuat dia yang biasanya tenang mengeluarkan suaranya hingga terdengar di sepenjuru ruangan Pain. "DIMANA ETIKAMU, PAIN?!" lanjut Kisame, hendak menutup laptop yang sedang digunakan oleh Pain.

Kluk.

Laptop tertutup, dan membuat Pain terdiam untuk sementara waktu.

Kisame menghela napas. Ia merendahkan suaranya, kembali bersikap tenang. "Hentikan sekarang juga, kita pulang saja ke negara kita se-

GRAP!

Pain beranjak dari atas kursi, membalikan badan, memegang kerah baju Kisame.

BRUK!

Pain membanting Kisame ke arah meja kerjanya, membuat suara dentuman yang keras.

"Tidak ada yang bisa memerintahku, bahkan tetek-bengek mengenai etika hacker atau etika persetan itu itu tidak akan pernah bisa memperbudak diriku," desis Pain, memegang kerah baju Kisame sangat erat. Wajah pemuda itu hanya berjarak beberapa senti dengan wajah Kisame ketika kilatan emosional tersorot dari kedua mata Pain. "Apa yang aku inginkan itulah yang akan aku lakukan," bisik Pain, bersungguh-sungguh. "Tidak. Akan. Ada. Orang. Yang. Bisa. Memerintahku. Selain. Diriku. SENDIRI!"

Crimson Ties Behind the Scene [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang