Y a k i i m o
❄️❄️❄️
Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, langit terlihat lebih cerah hari ini. Salah satu pertanda jika musim dingin akan segera berakhir, dan datanglah musim yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat yang tinggal jauh dari garis katulistiwa. Haru, musim di mana pemandangan putih ini akan berganti dengan warna bunga dan rumput segar.
Momiji yang duduk menyembunyikan kaki-kakinya di bangku taman, beranjak naik ke atas pangkuan. Bulu-bulunya yang lebat nampaknya tidak cukup hangat untuk menangkal dingin yang masih tersisa di Bulan Januari ini. Walau Mio sudah susah payah membuatkannya rajutan topi, syal dan mantel, namun tubuh gempal Momiji masih menggigil.
Badannya berhenti bergetar begitu aku membungkusnya menggunakan mantel yang kukenakan. Anak ini melanjutkan tidur, sembari bersembunyi dari dingin.
"Momiji benar-benar jadi pemalas ya sekarang. Onii-san terlalu memanjakannya waktu kalian tinggal berdua."
Aku tertawa kecil lalu meralat ucapan Mio. "Yang benar bertiga bukan?"
Gadis yang memegang yakiimo tidak menjawab pertanyaanku, sebaliknya wajahnya terlihat masam seolah tidak ingin tahu siapa orang yang tinggal bersamaku selain Momiji. Kudengar hubungannya sedang kurang baik dengan Onohara. Bagaimana mereka bisa bertengkar padahal tidak menjalin hubungan? Dasar anak muda.
Mio duduk di sebelahku setelah menyerahkan yakiimo yang ia beli.
"Kita beruntung, di bulan-bulan ini biasanya sudah sulit sekali mendapatkan penjual yakiimo yang masih berkeliling!" ujarnya memgalihkan topik. "Aku yakin Onii-san belum pernah makan ini lagi selama empat tahun kan?"
"Sou desu ne."
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Semenjak kejadian di vila tua Akiyama, aku belum melihat bayangan Andromeda di mana-mana. Pergantian tahun bahkan kuhabiskan hanya dengan Momiji yang kujemput di rumah Otou-san. Menikmati hanabi dari jendela rumah dengan tiga cup ramen instan.
Bagaimana dengan Onohara? Walaupun sesekali kami berpapasan di kampus. Tapi tidak pernah ada obrolan apa lagi sapaan di antara kami. Ia melewatiku seperti orang asing, begitu pun aku yang tidak tahu harus berkata apa jika berhasil menyebut namanya. Sementara Sayou, entah ada masalah apa ia di kampung halamannya, jadi kami pun jarang bertemu.
Dunia terus berputar, tidak peduli aku sedang bersedih atau senang. Waktu manusia terus berjalan menuju kematian. Hidup terasa datar, tidak mengerti apa tujuan dilahirkan selain menjadi manusia.
Jika ada barang atau prestasi yang ingin dicapai, semua akan hilang ketika manusia dihadapkan pada kematian. Semua usaha di dunia, semua kesuksesan yang di raih ketika masih hidup. Pada akhirnya tidak akan berarti apa-apa saat manusia telah mati. Lantas untuk apa sebenarnya hidup itu jika saat kita mati tidak ada satu pun yang bisa ikut dibawa?
Untuk apa manusia hidup?
"Onii-san." Sentuhan hangat di jari mengambil alih kembali kesadaranku. Dengan mata sipitnya, Mio mengecek kondisi wajahku. "Onii-san baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"
"A-ah, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir." Aku menjauhkan diri dari wajahnya karena panik.
"Hmm, benarkah?" katanya dengan nada tidak percaya. "Aku sempat mendengar Onii-san bergumam sesuatu. Apa ada masalah di tugas akhir kuliah? Bukan apa, aku hanya sedikit khawatir kalau Onii-san cuti lagi tahun ini. Bukankah semakin lama menunda kelulusan sama dengan semakin lama Onii-san tidak bisa mewujudkan cita-cita?"
Memalukan. Adikku sendiri sampai sekhawatir itu pada kakaknya yang tidak berguna baginya selama empat tahun. Masih sempat-sempatnya ia memikirkan impianku, padahal aku sendiri tutup mata ketika Mio menangis karena keputusan bodoh yang kuambil waktu itu. Aku merasa menjadi kakak yang sangat tidak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
SpiritualUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...