27 🌸 Kaimono

62 25 2
                                    

K a i m o n o

🌸🌸🌸

"Dek, kamu dengerin aku bicara kan?"

"Eh?"

Senggolan di pundak membuatku terperanjat dari lamunan. Wajah keheranan Mbak Vash menjadi objek pertama yang ditangkap oleh indra pengelihatanku. Kemudian perlahan, suara-suara ramai di sekitar kembali mengambil alih kesadaran.

Setengah jam yang lalu, Mbak Vash dan Bang Aariz berkunjung ke rumah. Karena Om Halim harus ikut bersama menantunya itu untuk melihat proyek bisnis mereka, Mbak Vash dan keponakanku yang masih berumur belum genap dua tahun dititipkan di rumah. Mertua dan menantu itu khawatir, takut terjadi apa-apa jika meninggalkan ibu hamil dengan seorang bayi sendirian di rumah.

Memang biasanya, tiap penghuni laki-laki di rumah itu pergi, Mbak Vash selalu datang ke rumah kami. Hanya saja, mungkin karena sedang hamil, Om Halim dan Bang Aariz jadi lebih overprotektif dibanding biasanya.

Lalu di sinilah kami. Dengan dalih ingin lebih banyak bergerak dan berjalan agar proses persalinan dapat berjalan lancar dan mudah. Mbak Vash menyeretku yang sedang asik rebahan, ke supermarket terdekat untuk berbelanja bahan masakan. Didukung oleh Bubun, mau tidak mau aku menyeret kaki-kakiku yang seakan diborgol oleh rasa malas. Berat.

Padahal besok pagi aku akan berangkat lagi ke Wonosobo, untuk mempersiapkan acara reuni yang tinggal menghitung hari. Tapi berkat dua buibu yang semangat memasak menu baru untuk makan siang, acara temu kangenku dengan guling dan bantal diundur sejenak. Sampai di rumah pun, aku tidak yakin bisa merebahkan punggung dengan tenang.

Ngomong-ngomong masalah reuni. Kira-kira dia akan datang atau tidak ya?

Ustad Fahri yang satu asrama dengannya tidak tahu tepatnya Binar pergi ke mana. Beliau menyampaikan, jika pemuda itu pergi subuh-subuh sekali dan hanya mengirimkan pesan singkat kalau Ustad Fahri tidak perlu mengajaknya sarapan untuk seminggu ke depan. Kemudian, nomor Binar lenyap. Ia sama sekali tidak bisa dihubungi. Berharap bisa mendapat balasan dari media sosialnya juga sangat mustahil, karena dari dulu orang itu terkenal kudet.

"Kamu nggak enak badan, Me?" Mbak Vash bertanya khawatir. " Ia mengecek suhu tubuhku menggunakan telapak tangannya, mulai dari kening, pipi, sampai masuk ke dalam jilbab yang kukenakan. "Nggak panas, atau perutnya mual? Muka kamu pucet banget keliatannya."

Aku memaksakan senyum. Karena sejujurnya kondisi badanku memang tidak terlalu sehat setelah sampai di Indonesia. "Nggak apa-apa, Mbak. Kecapean aja habis naik pesawat kemarin."

Raut wajah Mbak Vash jadi tidak nyaman. Ia terlihat merasa bersalah karena sudah mengajakku kemari. Walau jujur saja aku memang sedikit terganggu ketika buibu di rumah memaksa agar aku pergi keluar, tapi aku tidak pernah menyalahkan mereka.

Toh, keduanya tidak tahu bagaimana kondisiku. Bubun juga belum mengecek kesehatanku setelah sampai di rumah, karena sibuk mengurus Roy dan Yayah yang harus berangkat sekolah dan bekerja. Dari dulu juga, aku lebih sering menyembunyikan sakit karena tidak ingin merepotkan mereka. Meski ujung-ujungnya pasti merepotkan juga.

Aku lanjut berjalan ke tempat sayuran bersama ibu hamil di samping troliku. Dibanding beberapa menit yang lalu, Mbak Vash kali ini lebih banyak diam dan memperhatikanku. Pandangannya menusuk, hingga kupikir perutku akan bolong karena tatapannya yang tajam.

"Kamu lagi kepikiran sesuatu ya, Me?" Pertanyaan tiba-tiba darinya, tidak terlalu membuatku terkejut. Siapa pun, dalam sekali lihat, pasti tahu aku sedang memikirkan banyak hal. Terlebih, aku yang sering kehilangan konsentrasi di tengah keramaian.

AKISAME [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang