26 🌸 Kaeru

62 24 3
                                    

K a e r u

🌸🌸🌸

Desing mesin pesawat yang kunaiki berbunyi nyaring. Roda-roda kecil yang menumpu badan burung besi ini pun sudah berhenti bergulir. Pemandangan lapangan bandara yang gersang menyambutku pertama kali di tanah kelahiran.

Disusul salam pramugari dari pengeras suara yang bergema hingga ke sudut-sudut ruang kokpit. Aku mengambil barang bawaan di bagasi atas, kemudian ikut turun bersama penumpang lain yang datang dari berbagai negara.

Meski ragaku sekarang ini tengah berjalan mengikuti arus manusia menuju pintu bandara, tapi anganku seolah tertinggal di Kota Cordoba. Entah karena tidak rela berpisah dengan Ustad Fahri, atau kecewa karena gagal menyelesaikan misi, sesuatu dalam kepalaku masih terasa kosong dan sunyi.

Padahal sudah sejauh itu, padahal sudah senekat itu, kenapa sampai akhir aku tidak bisa menemukannya? Kenapa timingnya pas sekali dengan kepergian dia dari asrama?

Kalau berjodoh pasti akan bertemu, serumit apa pun jarak yang bumi buat di antara dua manusia. Lalu, apakah ini artinya kalau kami tidak berjodoh ya?

"Sebenernya jodohku itu siapa sih?"

"Halo, Jodoh. Sudah sampai di bandara dengan selamat?" Seseorang menyauti gumamanku barusan. Untung aku tidak terlalu latah sekarang, pun setengah otakku masih sadar jadi bisa cepat membaca situasi.

Pelipisku mengernyit, begitu menemukan manusia setengah es yang sudah merebut tas jinjingku dengan senyum lebar. Kubilang setengah, karena setelah menikah dengan tetangga sebelah, orang ini berubah menjadi lebih hangat dan murah senyum. Meski hanya pada orang-orang tertentu. Katanya sih, alasan dia sering tersenyum sekarang, supaya istrinya yang sedang mengandung anak kedua mereka bisa marah atau ngambek karena cemburu.

Sayangnya, usaha orang ini masih belum berhasil.

"Yayah mana? Katanya Yayah yang mau jemput ke bandara," protesku karena amat malas jika ada satu mobil dengan dia.

Pria yang tidak mau kupanggil om atau paman itu berjalan lurus. Sembari menarik lengan bajuku ke arah tempat pengambilan koper, Bang Aariz memberitahuku kalau Yayah tidak bisa datang karena masih mengantarkan Roy ke acara sekolah.

"Makan dulu nggak?"

Aku menggeleng, bukan maksud tidak mau mengisi perut. Hanya ingin ke tempat makan yang biasa kukunjungi tiap pulang dari perjalanan.

"Mau makan di tempat lain, boleh kan?"

Bang Aariz mengangguk. "Boleh, tapi jangan yang mahal-mahal ya. Gajiku belum turun."

Aku menyetujuinya, patuh. Toh, memang makanan yang akan kubeli tidak terlalu mahal juga harganya. Hanya seporsi rujak cingur khas Surabaya yang biasa dijajakan mamang-mamang pedagang kaki lima. Sudah lama rasanya lidah ini tidak bersentuhan dengan sensasi pedas dari cabe rawit asli Indonesia. Di Jepang, sebenarnya ada wasabi yang juga sama-sama memiliki sensasi pedas, tapi entah kenapa aku kurang suka dengan baunya yang aneh dan cukup menyengat.

Mobil putih yang kutumpangi keluar dari parkiran bandara. Dengan Bang Aariz sebagai sopirnya, aku memilih menyetel murattal Al-Qur'an agar suasana tidak sepi-sepi amat. Karema berharap ada obrolan di antara kami adalah hal mustahil. Saat menyetir, orang ini punya kebiasaan baru yaitu memfokuskan pikiran dan pandangan pada jalanan di depan.

Aku tidak terlalu tahu apa yang menyebabkannya amat tegang ketika membawa mobil setahun belakangan ini, karena tidak ada satu pun orang rumah juga yang mengetahui keanehan Bang Aariz, kecuali aku dan Bang Arsa. Sayangnya, meski didesak oleh kami, si Es Batu itu sama sekali tidak mau membuka mulutnya tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia selalu berdalih dan membelokkan pembicaraan ke topik lain.

AKISAME [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang