T e g a m i
🌸🌸🌸
Pukul sebelas kurang seperempat. Harusnya aku sudah kembali ke hotel dan bersiap membereskan barang-barang dari sana untuk menuju bandara di pagi harinya. Namun, aku malah harus tertahan di sini bersama seseorang setelah berjalan sendirian menyusuri malam di Kota Cordoba.
Aku yakin sudah mengatakan selamat tinggal pada Oxana, kami bahkan melakukan pelukan perpisahan sebelum akhirnya ia menaiki bus dan menghilang dari pandanganku. Tapi karena khawatir aku tersedat, gadis ini malah membuntutiku dan melompat keluar untuk memukul seseorang, sebab melihat aku didekati oleh pria asing. Meski sebenarnya orang yang duduk sopan di depanku sekarang bukanlah pria asing yang dimaksud Oxana.
Kami saling mengenal, kurang lebih enam tahun aku mengaguminya sebagai sosok guru teladan yang mengabdi ikhlas untuk pondok pesantren. Ia yang lembut, amat perhatian dan rendah hati, kadang membuatku salah mengartikan tiap tindakannya saat kami bersama.
"Temanmu sudah sampai?" tanya orang ini tanpa melihat ke arahku.
"Sudah, dia baru mengabari saya kalau sudah di rumah. Oh, dia mengirim foto juga, ustad mau lihat?"
Ustad Fahri terkekeh kecil. "Buat apa saya lihat foto teman kamu?"
"Eh?" Aku tersipu. "Saya kira ustad mau memastikan."
"Kalau temanmu pulang dengan keadaan sehat wal'afiat?"
Kepalaku mengangguk kecil. Sementara ia tersenyum sembari menyodorkanku sepotong cheese cake.
"Saya lebih penasaran kabar kamu daripada teman guide yang barusan kita temui. Gimana kabarmu selama di Jepang? Sehat-sehat saja kan?"
Aku mengangkat cangkir hingga di depan mulut. Lantas menyeruputnya dengan elegan. Padahal biasanya, aku asal seruput saja tidak memperhatikan siapa yang akan mendengar atau melihat. Memang kebiasaanku akan berubah seribu persen anggun, hanya saat bersama beliau.
"Alhamdulillah baik. Walaupun cukup susah membiasakan diri, tapi saya tetap menikmati kehidupan sehari-hari selama menjadi mahasiswa asing di sana."
Ustad Fahri melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya terpejam, sementara kepala yang biasanya tertutup peci itu mengangguk-angguk beberapa kali.
"Memang Meda banget ya. Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun. Kamu bisa beradaptasi dengan baik," ia menghela napas cukup panjang lalu memandangku dengan sorot tenang. "Rasanya kekhawatiranku jadi jauh berkurang."
Khawatir?
Aku tidak salah dengar? Kalimat terakhirnya memang hampir samar karena hanya berupa gumaman saja. Walaupun sayup-sayup tertangkap indra pendengar, tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk menanyakannya.
Bolehkah aku menduga jika selama ini Ustad Fahri pergi sambil terus memikirkanku? Tapi sebagai apa? Sebagai anak didik yang dia sayangi, atau perempuan yang diam-diam ia sukai?
Ah, lebih baik tidak mengharap lebih. Lagi pula, aku sudah lama menutup tentang beliau dari bukuku.
Kebiasaannya masih belum berubah. Dibanding minuman berkafein tinggi yang biasanya dinikmati kebanyakan laki-laki, Ustad Fahri lebih memilih teh sebagai minuman terapi menghilangkan stres. Ia pun bercerita jika dirinya baru saja dari perpustakaan kota, dan sedang dalam perjalanan pulang. Namun, tidak disangka takdir akan menuntunnya untuk bertemu denganku sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
Tâm linhUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...