02 🍁 Namba

142 34 15
                                    

🍁 N a m b a 🍁

🍂🍂🍂

Pejalan kaki yang hilir mudik melintasi jalanan malam Kota Osaka, seolah tak pernah padam meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Orang-orang bahkan masih asyik menikmati berbelanja di daerah Dotonbori, bahkan kulihat beberapa turis masih senang mengambil gambar di depan papan reklame paling hits di Kota Osaka—Glico Man.

Tidak jauh berbeda dengan orang yang ramai-ramai datang ke pusat perbelanjaan Osaka, entah untuk mengenyangkan perut atau membeli cindera mata dan mengabadikan kenangan. Gadis yang tadinya masih menempel nyaman di pundak ini, tiba-tiba saja menyeret lenganku memasuki sebuah kedai sushi.

Katanya, belum lengkap dinamakan berburu momiji kalau dia belum memakan apa pun sepulang dari Istana Osaka. Padahal seingatku, pipi buntalnya terlihat sudah akan meledak tadi karena kebanyakan mencoba jajanan musim gugur yang dijual.

Beruntungnya, Mio tidak perlu pusing memikirkan masalah berat badan. Karena sebanyak apa pun makanan masuk ke dalam mulutnya, jarum timbangannya tidak pernah melebihi berat ideal Mio. Sementara aku? Harus mati-matian berolahraga untuk mengimbangi porsi makan anak dari dosen yang selama ini membimbingku di negeri sakura.

Selepas menjadi santri, aku memang sempat putus asa pada mimpiku. Tentang Yayah, Bubun, Bang Arsa bahkan orang yang tidak pernah kupikir akan datang ke kehidupanku yang tenang. Dalam beberapa bulan saja, dunia yang kurangcang menjadi gelap. Tidak ada satu hal yang berjalan mulus sesuai rencana. Bahkan dengan sifat remaja yang naik turun, aku pernah membuat seantero Darul Akhyar geger. Yah, meski kelakuanku saat mondok juga sudah sering mendapat hadiah berupa surat kunjungan ke ruang BK.

Tapi percayalah, kejadian yang satu itu sama sekali tidak pernah terpikirkan di benakku sebelumnya. Karena juga bertepatan dengan hilangnya Eren dari Darul Akhyar.

Semua kembali seperti semula, saat aku mulai berdamai dan berlapang dada. Mencoba mengikhlaskan mimpi, namun masih saja tersisa sedikit rasa iri melihat kehidupan pendidikan penghuni Kamar Rufaida yang nampak gemilang.

Kerdil dan tersudutkan. Ikhlas memang tidak semudah kelihatannya. Tapi, bukan berarti tidak bisa dilakukan.

"Onee-san, tolong bicara pada otou-san kalau aku sedang bersamamu." Mio mengulurkan ponsel kuningnya ke arahku dengan wajah sebal. Kepalanya langsung terantuk ke meja begitu ponsel sudah kuterima. Gadis berponi lurus ini kurang suka pada perlakuan ayahnya yang kadang posesif.

Padahal menurutku wajar saja Akiyama-sensei berulang kali menghubunginya, karena ini sudah lewat dari jam pulang. Aku terkekeh kecil sebelum meneruskan panggilan dari sensei.

"Moshi-moshi, sensei," ucapku sopan.

Terdengar helaan napas yang amat halus dari ujung telepon. "Kau benar-benar sedang bersama Mio?" katanya tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran.

"Ya, kami akan pulang setelah makan. Sensei tidak perlu khawatir."

Sebenarnya aku kurang pantas mengucapkan itu, karena aku sendiri bukan warga asli Jepang. Hanya saja jika terjadi sesuatu pada Mio, aku dengan sukarela pasti akan melindungi gadis ini. Karena berkat orang tua dari gadis inilah, aku bisa berada di Osaka. Berada dekat dengan mimpi yang selalu kuidamkan saat sedang menjadi santri Darul Akhyar.

"Baiklah, aku akan tunggu kalian sampai di rumah. Tolong jaga Mio, Meda-san."

"Wakarimashita, sensei."

Sambungan pun terputus, bersamaan dengan datangnya pelayan yang membawakan sushi pesanan kami.

Selama di Jepang, tidak hanya harus menyesuaikan iklim dan kebiasaan negara ini saja. Tapi aku juga harus terbiasa pada menu makanan mereka yang kadang tidak melewati proses memasak lebih dulu. Sushi contohnya.

AKISAME [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang