S a i k a i
🌸🌸🌸
"Masyaallah, udara paginya belum berubah!" Syahlaa membuka lebar-lebar jendela kamar dengan suara nyaring. Sementara Gladys yang dulunya kami juluki si tukang kebersihan, tidak terlihat akan marah-marah seperti dulu karena aku, Eren dan Hafshah yang masih tertidur di atas kasur.
Sebaliknya, ia pun masih sama-sama merebahkan tubuh setelah adzan salat subuh berkumandang dari masjid Darul Akhyar. Nampaknya ia sangat kelelahan karena baru saja datang dari bandara, dan langsung diseret ke tempat ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ketiganya—termasuk Eren—sama-sama mantan anak OSIS, sementara aku mantan santri legendaris. Kami yang punya catatan bersejarah selama mondok, tiba-tiba saja dimasukkam sebagai anggota inti untuk persiapan acara reuni nanti malam.
Menyebalkan, bukan?
"Kepalaku masih mual," keluh gadis yang tidur di bawah ranjang Syahlaa itu.
"Bukannya yang mual itu harusnya perut ya, Dhys?" sahut Eren yang baru turun dari kasurnya.
"Intinya dia lagi nggak enak badan, Ren," Hafshah yang sibuk dengan ponselnya menimpali.
"Gimana kalau kita bolos aja?" usulku yang mengawasi mereka semua dari atas.
Sontak, keempat temanku itu mengatakan, "Nggak bisa," secara serempak sambil menatap sinis ke arahku.
Sejak kapan mereka jadi kompak begini coba? Padahal sudah lama tidak bertemu bertahun-tahun. Kalau tidak salah, dulu sepertinya ada kejadian sama seperti ini.
Aku terkekeh sendirian, kemudian turun dengan peralatan mandi. Karena kami tamu, Nyai Akhyar memperbolehkan para perempuan untuk menggunakan kamar mandi di rumahnya. Beliau juga awalnya menyuruh tamu-tamunya untuk tidur di dhalem beliau, tapi kami semua menolak.
Selain tidak enak karena sudah merepotkan tuan rumah, semua alumni kompak mengatakan ingin bernostalgia tidur di kamar santri seperti dulu. Beruntungnya, meski tidak banyak kami mendapatkan kamar-kamar yang kekurangan jumlah penghuni. Sebagian katanya ada yang pulang karena sakit, sementara sebagian lain pulang karena kepentingan keluar. Kamar yang hanya menyisakan dua sampai tiga orang santri, dijadikan satu dengan kamar yang punya penghuni sama. Akhirnya, keinginan kami pun terpenuhi berkat bantuan para ustad-ustadzah yang mengurus asrama.
"Kalian habis dari luar negeri jadi lebih putihan ya sekarang," celetuk Eren. Sekarang kami sedang berada di gazebo dekat rumah Nyai. Karena kebetulan aku, Eren dan Syahlaa sedang berhalangan, kami masih menikmati waktu sambil bersantai sembari mencicipi kue-kue kering yang disuguhkan oleh tuan rumah.
Syahlaa mengibaskan tangannya, sedangkan mulutnya masih sibuk mengunyah. "Di Belanda kalau musim dingin airnya ngalah-ngalahin es batu. Gimana nggak mau jadi putih kayak mayat?"
Eren mencebikkan bibir bawahnya. Anak yang dulunya amat pendiam itu, mulai terbiasa mengobrol santai dengan kami. Ia juha lebih banyak menunjukkan ekspresi, dibanding dulu yang masih kaku bak beton. "Kalau kamu, Me? Putih karena airnya dingin kayak Syahlaa?"
Aku yang masih meminum sirup rasa cocopandan melirik ke arah orang yang bertanya. Kepalaku menggeleng begitu selesai, lantas tersenyum lebar dengan jawaban, "Kalau aku mah emang sudah putih dari lahir dong. Lupa ya kalau aku masih keturunan Ratu Eropa?"
Syahlaa dan Eren memandangiku dengan ekspresi enek, seakan berkata dalam hati kalau mereka sudah salah bertanya padaku. Padahal mah, aku kan berbicara fakta. Di dalam tubuhku memang benar-benar mengalir darah eropa milik ibu. Meski dulu aku sempat tidak ingin mengakuinya, bahkan menutup diri untuk tahu siapa ibu kandungku, sekarang aku lebih bisa menghargainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
EspiritualUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...