Epilog

155 30 6
                                    

E p i l o g

☀️☀️☀️

Cicitan dari balik jendela menjadi alarm alam bagiku untuk memulai aktifitas. Sayangnya tidak ada aktifitas apa pun yang bisa kulakukan selain membereskan koper dan kardus-kardus berisi perkakas asrama milik pribadi.

Aku menutup jendela, setelah memberikan pakan remahan roti di pot semen yang dipasang dekat pinggiran jendela. Lantas melambaikan tangan pada burung-burung kecil yang selama ini sudah menemani pagi hingga soreku selama tinggal di Cordoba.

Seorang kakek mengetuk pintu yang dibiarkan terbuka lebar. Ia maju selangkah, kemudian menyapukan pandangan ke seisi ruangan sambil berkacak pinggang.

"Mr. Fahmi, barang-barangmu sudah siap?" katanya begitu pandangan kami bertemu.

Bibirku tersenyum paksa. Dengan dus besar yang dibawa dengan kedua tangan, aku mengangkat bahu dan mengedikkan kepala. "Seperti yang anda liat, Tuan Hayyan."

Ia tertawa lebar. Suara besar nan berat itu pun, mungkin akan kurindukan. Kecuali jika aku kembali kemari karena pekerjaan atau studi pasca sarjana.

Tangan-tangan besarnya mengangkat dua kardus besar, seakan itu benda ringan. Sembari bernyanyi dengan nada ceria, Tuan Hayyan—pria yang mengurus asrama muslim ini dengan istrinya—keluar menuju lantai bawah. Ia tidak mengajakku, karena sepertinya ingin memberikan ruang untuk mengucapkan salam perpisahan pada kamar juga semua kenangan yang tertinggal di Cordoba.

Empat tahun aku berbagi ruangan ini dengan seseorang. Kamar yang tidak terlalu luas dengan ruang tamu dan dapur yang menyatu, sering kali menyambut tamu-tamu baru kenalanku atau anak itu. Kami juga sering menyediakan tempat bagi alumni pondok pesantren Darul Akhyar yang mengejar pendidikan hingga ke kota yang pernah diduduki oleh kerajaan Islam.

Dibanding aku yang memilih pulang lebih akhir. Teman sekamarku sudah jauh-jauh hari mulai mengangkut barang-barang bawaannya sedikit demi sedikit. Katanya, supaya ia tidak terlalu kesusahan karena harus membawa banyak barang ketika meninggalkan asrama. Jadi, Binar membawanya satu persatu saat pulang ke Indonesia. Ia pun menyelesaikan tugas akhir dengan cepat dan semangat yang membara.

Awalnya, aku merasa senang karena anak yang tidak banyak bicara dan kalem saat kami bersama itu, terlihat antusias dan berapi-api. Jarang sekali melihatnya yang amat santai, menjadi pemuda yang terburu-buru.

Namun ada sakit yang dirasakan dalam diri ini begitu mendengar alasan di balik semangatnya yang berkobar.

Meda menerima lamaran saya!

Satu kalimat yang mampu membuat senyumku langsung memudar. Apakah itu kabar bahagia untukku? Ah, bukan. Apakah aku harus ikut bahagia mendengar informasi ini?

Aku bukan orang yang mudah menyembunyi perasaan, jadi aku memilih untuk membelakangi Binar dan pura-pura sibuk memasak saat itu. Lantas bertanya bagaimana kejadiannya sampai ia bisa melamar Meda.

Namun karena nyeri di dada, kepalaku menjadi kosong. Cerita Binar sama sekali tidak bisa kudengar, dan hari-hari berikutnya pun aku lebih sering melamun dan melakukan banyak kesalahan. Seperti orang kikuk yang sedang patah hati, aku melewati hari sembari terus coba mengobati diri sendiri.

Keanehanku bukannya tidak terlihat oleh Binar. Tapi kuyakin ia hanya pura-pura tidak tahu. Bahkan saat aku hendak menyerahkan surat empat tahun lalu itu, Binar menyaksikan sendiri isi surat berbeda yang jatuh tidak sengaja di depan perpustakaan.

Ya, surat pernyataan jika aku menyukainya baru-baru itu. Namun karena gengsi, dan kepercayaan diri tinggi jika gadis itu mempunyai perasaan yang sama dan tidak akan berubah. Aku mengambil surat yang Binar pegang, dan menggantinya dengan surat lain.

Satu hal yang kulupa, jika hati manusia bisa berubah kapan saja. Bukankah mudah jika Allah sudah berkehendak? Ia bisa membolak balikkan hati manusia semudah membalik telapak tangan. Aku bahkan tidak tahu, jika setelahnya Binar meminta gadis itu untuk menunggunya secara terang-terangan.

Sekarang hanya penyesalan yang tersisa. Meski begitu, aku tidak ingin terus berlarut-larut dalam kesedihan. Bukan salah siapa-siapa kami tidak bersama. Mungkin hanya takdir saja yang membuat alasan agar kami tidak bersatu dalam ikatan pernikahan.

Aku memperhatikan surat yang tidak bisa kuberikan padanya sebelum pergi. Tersenyum, sebagai tanda melepaskan. Lantas membuang surat yang pernah kutulis itu ke dalam tong sampah.

Selamat tinggal perasaan yang tidak bisa saling memiliki. Mungkin, kamu akan bertemu dengan pemilik sesungguhnya suatu saat nanti.

***

Gimana, gimana? Kasian ga sih sama Ustad Fahri :')

Dan akhirnya finish. Terima kasih buat kalian yang dari awal hingga akhir sudah mengikuti kisab Meda. Terima kasih sudah meninggalkan vote dan komen di tiap chapter. Terima kasih, karena antusias dari kalian, aku bisa menyelesaikan project ini. Maaf jika banyak plot hole yang mungkin kalian temukan. Atau typo yang kurang nyaman dibaca.

Dengan tamatnya kisah Meda. Aku juga memutuskan buat hiatus dulu sampaitahun depan :) Semoga waktu aku kembali, kalian masih mau mampir ke cerita2 yang kubuat ya.

Sekali lagi terima kasih! Sampai jumpa di lain waktu. ❤️

AKISAME [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang