T a k e O f f
🍂🍂🍂
"Kamu jadi pulang hari ini?" Entah sudah berapa kali wanita di ujung sana mengulang kalimat yang sama.
Kalau kujumlah, kurang lebih hampir 100 kali ia terus memastikan apakah aku benar-benar akan kembali hari ini ke Indonesia. Bahkan, saat akan pergi menimba ilmu di negeri orang, ia sudah bertanya kapan aku akan pulang. Terbang meninggalkan tanah kelahiran saja belum, aku sampai tidak tega untuk meninggalkan rumah.
"Insyaallah," ucapku diselingi tawa kecil. "Tapi mungkin aku masih mampir sebentar."
Terdengar bunyi benda jatuh dari ujung telepon, sebelum akhirnya seorang pria berseru kecil. "Ma, kalau lagi telponan duduk aja dong. Apelnya jadi jatuh semua."
Suara Papa terdengar samar-samar. Nampaknya mereka tengah berada di dapur.
Namun, Mama tidak menggubris kalimat Papa dan lebih memilih untuk melemparkan pertanyaan selanjutnya padaku.
"Mau mampir ke mana dulu? Binar, kamu itu bukan lagi naik ojol loh pakai mampir-mampir segala," ucap Mama dengan nada sewot.
Dari dulu, Mama adalah orang yang paling tidak bisa berjauhan terlalu lama denganku. Keputusanku untuk ikut mondok bersama Meda saja, ternyata sempat membuatnya khawatir. Ia takut jika aku tidak memiliki seorang teman, dan susah beradaptasi dengan lingkungan pesantren.
Meski Meda ada di sana, tapi kami jelas punya wilayah yang berbeda. Tidak akan ada gadis itu yang menolong jika terjadi sesuatu padaku. Tapi toh, selama satu tahun mengampu pendidikan di sekolah umum, aku sama sekali tidak kesulitan untuk mendapatkan seorang teman.
Lupakan masa lalu, tidak perlu menjadi kerdi. Terus saja berjalan maju, karena kehidupan tidak akan pernah berjalan mundur.
Sebulan aku di pondok, menjadi masa percobaan yang diberikan Papa dan Mama. Jika aku tidak betah atau mendengar berita tidak mengenakkan tentang anaknya, Papa dan Mama akan menjemputku pulang dan kembali bersekolah di sekolah umum. Namun, apabila aku terlihat baik-baik saja dan merasa nyaman serta memiliki teman. Mereka akan melepaskanku untuk terus berada di Darul Akhyar.
Antara tantangan juga ancaman di satu waktu.
"Mau ke mana, Nak?" Mama mengulang pertanyaannya.
Aku tidak menjawab. Bukan karena ingin merahasiakannya dari kedua orang tuaku, tapi panggilan untuk penumpang pesawat yang aku naiki sudah berbunyi. Kurasa tanpa perlu menjawab juga, Mama sudah dengan pasti tahu aku akan pergi ke mana.
"Aku tutup ya, Ma. Pesawatku sebentar lagi akan take off."
Dengkusan kasar dari Mama membuatku melepas tawa. Ia pasti sangat jengkel karena selalu kuabaikan. Dengan salam sabagai penutup, aku mengakhiri obrolan lantas berjalan menuju pesawat yang akan membawaku ke belahan dunia lain.
Kepulan asap putih yang keluar dari helaan napasku menandakan jika suhu udara di negara ini mulai menurun. Sebentar lagi salju akan turun, dan kota ini akan tertimbun dalam selimut putih alam. Nampak lembut, namun ternyata rapuh.
Sama seperti seseorang yang kukenal. Kira-kira bagaimana kabarnya? Apakah ia kesulitan mengerjakan tugas akhir? Atau membuat onar di kampus impiannya seperti dulu? Hmm, atau mungkin ia sudah bertemu dengan orang baru?
Aku tersenyum tipis, mengisi langkahku menuju badan pesawat dengan banyak pertanyaan di kepala.
Meski kami bertetangga dan sesekali pulang ke Indonesia, aku dan dia belum pernah bertemu lagi selama hampir empat tahun. Karena universitas kami berbeda, tugas yang harus diselesaikan mempunyai deadline yang berbeda. Jadi waktu pulang pun, selalu tidak sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
EspiritualUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...