K e t s u d a n
❄️❄️❄️
Pintu menuju lorong rumah ditutup rapat. Hanya di sebelah taman saja yang dibuka sebagian, agar suasana di ruangan ini tidak terlalu sesak. Pria tua di seberang mejaku sudah menghabiskan cemilan ringannya, ia belum mengatakan apa pun ketika aku melangkah memasuki ruangan ini. Otou-san juga tidak melihat ke arahku, hanya memandang teh hijau yang ia seruput dengan wajah serius.
Rasanya memang harus aku yang memulai, sebab semua kekacauan ini bermula dari aku—anak yang tidak tahu diri dan egois.
Aku mengembuskan napas, berharap banyak agar beban yang kupikul di pundak berkurang. Walaupun rasanya itu pekerjaan yang sia-sia, karena atmosfer di sekitar kami tidak terlalu berubah banyak. Masih menyesakkan dan berat. Kalau aku anak perempuan, mungkin aku akan memilih untuk kabur daripada mati bertahan. Sayangnya aku laki-laki, pengecut saja rasanya jika kabur lagi dari masalah yang harus diselesaikan.
"Bagaimana ujian akhirmu?" Siapa sangka jika pria tua itu akan memulai obrolan lebih dulu. Aku pun sedikit terkejut.
"Baik, semua berjalan lancar."
Ia mengangguk kecil. "Pastikan jika semester ini kau tidak kabur lagi."
Ah, pancingan menuju inti pembicaraan kami ternyata dimulai lebih cepat. Baiklah, mari kita selesaikan.
"Sudah bisa ditentukan jika aku akan lulus dengan nilai terbaik, karena aku sudah meninggalkam penelitian itu."
Pandangan Otou-san bergerak cepat menikamku. Ia tidak melepaskannya meski hanya sedetik. Kukira Mio sudah menceritakan apa yang kulalui beberapa saat lalu. Bahkan keputusanku untuk mencari Tuhan dan pedoman untuk kehidupan selanjutnya. Namun ternyata belum? Buktinya, Otou-san tidak akan seterkejut itu andai dia sudah tahu.
"Kau yakin dengan keputusanmu?" ia bertanya seakan menekanku agar tidak main-main dengan omongan. Otou-san adalah orang yang tegas, ia juga tidak segan mengeluarkan kalimat pedas pada anaknya jika tidak disiplin. Kadang aku membenci sifatnya yang itu, tapi juga tidak bisa menyalahkan. Mungkin ini adalah cara mendidik anak-anaknya agar memiliki sifat seperti dirinya. Meski aku kurang setuju dan tidak akan menekan keturunanku nanti dengan cara yang sama.
Ganti aku yang menyeruput teh hijau yang dibuat oleh Mio. Rasa pahit yang tidak pernah berubah dari racikan ini sering kali memgingatkanku pada Okaa-san.
"Aku yakin," ucapku mantap tanpa keraguan. Setelah itu, aku pun bercerita banyak hal. Tentang vila musim panas keluarga kami. Tentang peneliatian yang kulakukan dan kendala yang kualami selama ini. Tentang Andromeda anak beasiswa yang dia bawa. Tentang Arsa, dan semua jawaban atas kebingunganku selama ini. Tidak ada cerita yang kulompati, detail semua kejadian kujabarkan pada Otou-san yang memperlihatkan berbagai ekspresi. Ia sama sekali tidak menyela, hanya mendengarkan sesaksama hingga cerita benar-benar selesai. Lantas bernapas lega seolah tali yang mengikat perutnya selama ini telah lepas.
"Apakah kau sudah memutuskan?" Ia terlihat lebih tenang, jauh berbeda dengan Otou-san yang selalu penuh gurat amarah ketika kami berada di satu ruangan selama empat tahun yang lalu.
Aku menggeleng tidak yakin. Meski sebenarnya aku sudah mempunyai pilihan, tapi jujur saja masih banyak pertimbangan yang perlu kucari lebih dalam lagi. Aku tidak ingin tersesat. Tidak ingin hanya masuk, tanpa tahu karakter dari keyakinan yang kuanut. Mio mungkin saja menuruti ayah karena pola pikirnya yang polos akan dunia.
Namun bagiku yang pemikir dan selalu penasaran akan dunia, butuh banyak data real yang perlu kukumpulkan untuk membuatku yakin. Tidak hanya pada buku-buku, atau fakta-fakta secara logis. Aku juga membutuhkan seseorang yang mampu membimbing dan dapat kuajak berdiskusi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
SpiritualUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...