H a n a s h i
🌸🌸🌸
Aku sedikit penasaran dan tidak penasaran sebenarnya. Tentang bagaimana kehidupan Meda di Osaka dengan empat musim, karena yang kudengar dari Bian jika ia selalu terserang flu di musim dingin. Kukira punya darah campuran keturunan Eropa membuatnya jadi sedikit lebuh tahan dengan cuaca ekstrem. Namun sayangnya tidak begitu. Ternyata kami ada di keadaan yang sama saja saat musim dingin menyerang.
Bunga dan rumput mulai muncul dari balik tumpukan salju yang mulai mencair. Daun-daun juga mulai menunjukkan warna hijau muda mereka setelah sempat meranggas dan terkubur karena suhu udara menjadi jauh lebih rendah. Hewan-hewan kecil bangun dari tidurnya, mencoba beradaptasi kembali dengan lingkungan mereka yang perlahan menghangat.
Hanya butuh sekitar dua jam perjalanan menuju tempat yang ditunjukkan oleh keluarga Akiyama. Sebuah vila tua yang nampak tidak terawat, tapi tetap kokoh berdiri. Kudengar dari gadis bernama Mio, ini adalah tempat kakaknya melakukan penelitian yang cukup gila.
Mio juga menambahkan jika Meda sempat berkunjung kemari, untuk menyadarkan Akiyama Ryou tentang kegiatannya yang sudah melewati batas.
Kira-kira apa ya? Aku cukup penasaran dengan cerita lengkap dari Mio semalam, berkaitan dengan kehidupan Meda. Juga kisah hubungannya dengan orang-orang di sekitar gadis itu. Ekhm, bisa dibilang juga. Aku sedang mencari apakah ada laki-laki yang memperhatikannya lebih dari seorang teman? Untuk apa? Tentu supaya bisa meminimalisir sainganku.
Ustadz Fahri saja sudah cukup berat. Aku bahkan tidak yakin Meda pergi ke Cordoba untuk menemuiku atau mencari guru yang dsukainya semasa belajar di pondok pesantren Darul Akhyar. Arsa sama sekali tidak memberikanku petunjuk.
Sekarang, kalau dia punya lagi satu orang pengagum rahasia. Aku bisa makin susah bersaing. Empat tahun tanpa memikirkan itu saja rasanya seperti mencekik leher sendiri. Demi menyelesaikan studi, aku harus mengenyampingkan perasaan. Menjadi orang yang "bodo amat" hanya supaya semua berjalan lancar.
Karena sekali terlalu larut dalam kisah asmara, semua impian yang ingin dicapai menjadi berantakan.
Dari sudut mati ini, aku memperhatikan punggung seorang pria tua dengan anaknya yang berdiskusi. Di sebelahnya berdiri laki-laki berambut pink yang ikut serius menyimak pembicaraan.
Padahal beberpaa menit yang lalu mereka masih saling melempar sindirian, dan menunjukkan gerak gerik ingin memukul satu sama lain. Tapi lihatlah, hanya karena satu ketertarikan yang sama, dua orang yang nampak seperti anjing dan kucing itu menjadi menyatu seperti itu.
Persahabatan itu memang aneh ya.
"Maaf ne kalau mereka menyusahkan Binar-san." Mio yang sedari tadi berdiri di sampingku memulai obrolan. Ia juga menunjukkan padaku sofa keluarga yang tergeletak dengan posisi sembarang di dekat pintu menuju balkon. Sama sepertiku yang tidak terlalu paham tentang toknologi, Mio memilih menarik diri dari pembicaraan tentang teknologi masa depan dan tetap menemaniku. Kupikir itu juga bentuk sopan santun untuk tidak mengabaikan tamu begitu saja.
Aku menggeleng sebagai jawaban, lalu mengetikkan sebuah kalimat di ponsel yang kubawa.
"Tidak masalah. Aku juga merasa harus memisahkan mereka sebelum agenda hari ini berubah tujuan ke kantor polisi."
Gadis itu tertawa kecil. Menutup mulutnya agar nampak anggun. Beda sekali dengan orang yang kukenal selama bertahun-tahun. "Ternyata Binar-san orang yang ramah seperti Meda Onee-san ya. Kalian lucu, dan menyenangkan. Berada di dekat kalian rasanya jadi ikut tertular energi positif."
Jemariku mengetik lagi, kemudian menunjukkannya pada Mio. "Bisakah kau ceritakan seperti apa Meda selama di sini? Kalau tidak salah ingat, profesor Akiyama bilang Meda tinggal di rumah kalian selama kurang lebih tiga tahun."
Mio mengangguk antusias. Ia sepertinya sangat bersemangat sekali untuk membahas Meda. Walau awalnya agak bingung harus mulai dari mana. Ia akhirnya terus bercerita tanpa jeda. Mio membuat Meda bak superhero pembela kebenaran. Terlihat sekali dari cara gadis ini bercerita, bagaimana ia sangat berapi-api. Meda untuknya mempunyai arti yang lebih dalam dari sebutan, "mahasiswa yang menumpang karena studi."
Waktu zuhur berganti asyar yang sangat cepat. Tak terasa saking serunya cerita Mio, langit di luar sana sudah berganti jingga kemerah jambuan. Burung-burung pulang, sementara lampu-lampu jalanan dihidupkan. Setelah melewati makan malam bersama keluarga Akiyama, dan cerita panjang dari Mio. Kami memutuskan untuk berpisah.
Tentu awalnya aku dan mereka punya tujuan sama, yakni pulang ke kediaman Akiyama. Karena barang-barang milikku tertinggal di sana, dan masih ada dua malam lagi aku numpang menginap sebelum kembali ke Cordoba. Hal yang membuatku berpisah dengan mereka adalah Akiyama Ryou, yang mendadak mengajakku berkeliling Osaka. Ia juga mengatakan ada hal yang ingin dia tanyakan sebelum aku pulang.
Ah, yang kutahu dari Mio. Kakaknya ini mulai menujukkan gelagat menyukai sahabat kecilku akhir-akhir ini. Ia bahkan menjadi orang pertama yang membujuk dengan halus, agar Meda membatalkan kepergiannya ke Cordoba.
Tidak disangka, jika ternyata aku malah tinggal di tempat sainganku seperti ini. Jadi canggung sekali rasanya.
Selama perjalanan, Ryou sangat baik menjadi pemandu. Ia mengantarkanku ke tempat di mana banyak jajanan khas Jepang di jual. Toko oleh-oleh juga tidak luput kami sambangi. Aku sempat membeli oleh-oleh khas Osaka yang setelah dibawa ke meja kasir harganya menguras kantong sekali. Sepertinya aku akan bangkrut sepulang dari Osaka. Harapanku hanya satu, semoga saja Mama tidak mengomel.
Waktu solat isya tiba, setelah sampai di pusat kota Osaka. Aku, profesor, juga Mio memang langsung mencari tempat beribadah dahulu sebelum berpisah. Jadi sekarang, aku dan Ryou pun akan kembali ke tempat yang sama.
Sebagai tambahan informasi, hanya aku saja yang mendirikan solat sekarang. Awalnya, kukira Ryou akan ikut. Mengingat ayah dan adiknya memiliki keyakinan sama sepertiku. Tapi, aku sedikit terkejut ketika Mio menyelesaikam ceritanya. Meda di sini, sebagai perantara hidayah Ryou. Meski sampai detik ini laki-laki di sebelahku masih menimang keputusannya.
Aku jadi paham, berasal dari mana rasa sukanya pada Meda. Bukan tentang kisah pelik yang dihadapi gadis itu. Atau tentang sisi positif dan keceriaannya. Melainkan, lebih dalam dari itu semua. Meda menjadi penguat untuknya. Mungkin bisa kubilang, Ryou terlepas dari belenggu masa lalunya karena Meda berusaha menjadi penuntun yang baik.
Apa jadinya ya kalau dia tahu aku datang ke sini karena Meda? Sepertinya Ryou akan semakim membenciku. Melihat kedatanganku saja, laki-laki ini sudah menunjukkam rasa tidak suka.
Punggungku berbalik sebelum masuk. Lantas mengetikkan sesuatu, dan menunjukkannya.
"Kau bisa tunggu aku di kafe seberang sana. Mungkin akan sedikit lebih lama dari yang tadi."
Akiyama Ryou menatapku dengan wajah datar. Ia menggeleng kemudian memberikan ponselku.
"Aku ikut. Kau tidak perlu buru-buru, aku hanya akan mengamati saja dari belakang," katanya dengan santai.
Mengamati? Untuk apa ya? Bahan penelitian lagi? Hmm, bisa saja sih.
Aku mengangguk, dan membuka pintu lebih dulu. Ryou langsung mengambil posisi di sudut ruangan begitu ia ikut masuk.
Ini asumsiku saja, tapi sepertinya ia ingin mulai belajar dari mengamati dan merasakan. Aku tidak tahu apakah itu bisa mengetuk pintu hati seseorang. Namun, semoga saja Allah memberikannya jalan. Karena Umar bin Khattab meyakini ke-Esaan Allah setelah mendengar suara saudaranya melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
***
Nb:
*Hanashi: cerita
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
SpirituellesUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...