B u r h a n v s M o m i j i
🌸🌸🌸
"Oh, kau sudah selesai?" Akiyama Ryou menghampiriku, yang sudah menunggunya sekitar sepuluh menit di tempat ia tadi kutinggalkan.
Selesai salam dan berdzikir, aku sempatkan untuk melihat kondisi anak ini di belakang. Kukira ia akan menguap berulang kali, atau minimal tertidur karena bosan menunggu. Cukup mengejutkan karena Akiyama Ryou malah mengambil sebuah buku dari rak di samping dan tenggelam dalam bahan bacaannya.
Yang membuatku sedikit panik adalah, pemuda itu tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Aku sempat berpikir akan jadi mahasiswa Corodoba yang hilang di Jepang. Tapi untungnya, pandanganku cepat menemukan keberadaan sosok laki-laki yang mengantarkan takunya ini berkeliling Osaka.
Ia duduk di sudut lain masjid bersama seorang pria yang menjadi imam salat tadi. Mereka masih serius berdiskusi. Sepertinya menyenangkan karena berulang kali Akiyama Ryou menarik sudut bibirnya dengan mata berbinar.
Kakiku melangkah ke arah tempat Akiyama Ryou tadi duduk. Bergantian menunggu, sembari murajaah hafalan surat-surat Al-Qur'an di juz 29.
Awalnya aku punya keinginan untuk menghampiri mereka. Mungkin saja topik yang mereka diskusikan sangat seru, sampai membuatku juga tidak berkedip. Namun, belum tentu Akiyama Ryou senang dengan kehadiran orang asing yang ikut dalam pembacaraan mereka.
Ia bisa saja merasa tersinggung, malu, atau malah jadi enggan bertanya lagi karena aku mencampuri urusannya. Aku tidak bermaksud untuk memikirkan hal buruk atau suudzon tanpa bukti. Hanya saja, ketika aku, profesor dan Mio mendirikan salat magrib berjamaah di masjid yang sama. Anak itu memilih untuk menunggu di kafe seberang bersama Onohara.
Ini cuma persepsiku saja, jadi bisa saja salah. Tapi dari informasi yang kudapatkan, Akiyama Ryou memang tidak pernah ikut saat keluarganya salat berjamaah di luar. Bahkan di rumah, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan jika ia tertarik dengan kepercayaan yang dianut keluarga Akiyama. Berkebalikan sekali dengan sosoknya sekarang.
Itu berarti Akiyama Ryou masih enggan untuk memberitahu orang terdekat secara terang-terangan, kalau dirinya tertarik pada islam.
Pendapat pribadi itulah yang membuatku bertahan di sini daripada ikut bergabung. Aku tidak ingin mengacaukan kesempatan yang bisa saja Akiyama Ryou telah rencanakan sejak lama.
Aku mengulas sebuah senyum saat ia sampai di hadapanku. Dengan cekatan, tanganku membereskan barang bawaan dan menyerahkan ponsel yang berisi kalimat balasan untuknya. "Santai saja, kau memberikanku ruang untuk tidak terburu-buru. Lakukanlah hal yang sama untuk kepentingamu."
Akiyama Ryou berdeham singkat. Mata tajamnya, melirik ke arah lain seakan malu karena tertangkap basah. "Bagaimana kalau aku traktir makan?"
Kepalaku menggeleng cepat, sembari melangkah keluar bersamanya.
Makan lagi? Memang itu bukan ide yang buruk. Siapa orang yang rela menolak ajakan makan secara cuma-cuma? Semua orang pasti mengangguk tanpa jeda hingga lehernya putus begitu mendengar kalimat "makanan gratis". Tapi sepertinya tidak untukku sekarang. Bukannya kenyang, aku khawatir perutku akan meledak karena terlalu banyak makan.
Sayangnya, orang yang menemaniku ini tidak menyerah untuk membujukku makan. Semakin besar usahaku menolak ajakannya, semakin gigih pula dia mengajakku memasukkan sesuatu barang sesuap saja ke dalam mulut. Minimal, membeli jajanan untuk dibawa pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKISAME [SELESAI]
EspiritualUpdate setiap hari Senin dan Kamis ================================= Bukan sebuah pilihan, karena aku sudah menetapkan pada siapa kapal ini akan berlabuh. *** Meda bukan sembarang menerima beasiswa dan fasilitas cuma-cuma dari Akiyama-sensei. Belaja...