08

1.7K 149 53
                                    

Vote dan komen cerita ini ya...

Happy Reading

Nb: cerita ini dibuat ketika authornya belum mengerti PEUBI yang benar.

.

.

.

"Habis dari mana kamu Skala?" tanya Herman tegas pada anaknya.

"Jawab!"

Skala mencengkeram jaketnya kuat, ia tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Papanya.

"Kenapa kamu sekarang sering pulang larut mana begini hah? Udah jadi jagoan kamu? Ingat Skala kamu bentar lagi ada olimpiade matematika. Kamu seharusnya belajar bukan kelayapan gak jelas gini!"

"Pa, Skala juga pengen kek temen-temen Skala yang lain, yang gak dikekang sama orangtuanya," ucap Skala setengah berteriak. Skala sudah menahan dirinya selama ini menuruti kemauan Papanya.

"Apa kamu bilang? Sudah berani kamu melawan Papa?" ucap Herman. Sekarang emosinya sudah diluar batas, ia tidak pernah melihat Skala seperti ini.

"Aku bosen Papa suruh belajar terus. Di sekolah belajar, di rumah juga belajar dan malam pun Papa juga suruh aku belajar. Pa, aku capek nuruti semua kemauan Papa," ucap Skala emosi.

Herman terdiam sejenak memperhatikan Skala yang berdiri di sebalah Sofa.

"Jadi kamu lebih seneng jadi anak yang keluyuran tiap malam? Oke sekarang Papa gak peduli lagi sama kamu," Herman kecewa dengan anaknya sekarang.

"Silahkan jadi apa yang kamu mau, tapi suatu saat kamu jangan menyesal dengan keputusanmu Skala," jelas Herman dengan wajah emosi.

Skala pergi menuju kamarnya. Banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya sekarang. Masalah demi masalah sekarang berdatangan pada dirinya.

***

Aleta sampai di rumahnya, ia melihat mobil mewah terparkir di garasi mobilnya. Ia tersenyum tipis, akhirnya orangtuanya pulang juga. Aleta sangat merindukan mereka.

"Mama ...."

Aleta melihat orangtuanya duduk di Sofa dengan raut wajah serius.

"Mau sampai kapan Aleta?" tanya Rina, mamanya Aleta.

"Maksud Mama?" tanya Aleta bingung.

"Mau sampai kapan kamu terus dapat surat panggilan dari sekolah Aleta? Mama malu Aleta,"

Deg

Aleta menatap serius Mamanya yang masih terlihat cantik itu. Jadi, Mamanya malu punya anak seperti Aleta?

"Jadi Mama malu punya Aleta?" tanya Aleta dengan suara bergetar.

"Ya, gak ada yang bisa dibanggain dari kamu Aleta gak ada,"

Air mata Aleta terjatuh, tubuhnya bergetar menahan isakan. "Papa juga malu punya anak seperti Aleta?" tanyanya pada Ardha, papa Aleta.

Ardha terdiam melihat Aleta yang semakin menangis. Ardha bukan malu mempunyai anak seperti Aleta, tapi ia hanya kecewa pada Aleta yang selalu berbuat masalah di sekolah.

"Mama sama Papa yang buat aku seperti ini. Coba Mama sama Papa luangin waktu sebentar aja buat perhatiin Aleta. Pasti gak bisa kan? Gak bisalah karena anak Mama sama Papa itu bukan Aleta, tapi uang," Kini Aleta meluapkan semua uneg-unegnya selama ini.

"Maksud kamu apa Aleta? Mama sama Papa itu kerja cari uang buat kamu,"

"Aleta gak butuh uang Ma ... Aleta cuma butuh Mama sama Papa ada di samping Aleta, temeni Aleta, suport Aleta,"

SKALETA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang