OPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021
[Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021]
Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara.
Singkatnya begini, walaupun pertikaian...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
“Anjir!” teriak pemuda berambut gimbal yang berdiri di depan papan pengumunan dengan mata membelalak. Kepalanya lalu celingukan mencari sesuatu, bibirnya kembali berteriak, “Sumpah, ini orang gila apa, ya?”
“Kenapa?” lontar seorang pemuda bermata cokelat tua di balik punggung pemuda gimbal itu yang tak lain adalah Marino.
Onadio Ale Erlangga—berdiri dengan senyum miring pada pemuda tersebut. “Ada yang aneh sama isi artikelnya?” lontar Ale lagi. “Emang udah jelas, kan, kalau gua adalah batter terbaik di sekolah?”
Marino menggeleng, dia kalah—kemudian meneguk ludahnya dengan segera sebelum Ale beranjak dari tempatnya berdiri. Marino berdecak, “Apa editor artikelnya nggak nyunting omongan lo, Le?”
“Buat apa disunting kalau itu fakta?” Ale tersenyum lebar. Senyum yang amat mencekam dan mengintimidasi siapa saja yang melihatnya. Marino kembali mengangguk dengan pelan, kakinya bergerak mengiringi langkah Ale di sampingnya, kedua pemuda itu memasuki kelas yang amat ramai. Beberapa anak terlihat sedang menulis, lainnya bermain gim daring, bergosip sambil nyalon, adapula yang tidur pulas.
Ale menyambar kursi di sebelah sosok gadis yang tengah membaca buku sambil mendengarkan musik dari penyuara tanpa kabel.
“Aku baca artikel kamu hari ini, kata-katanya menarik,” ucap gadis itu dengan santai. Intonasi suaranya yang dingin membuat Ale tiba-tiba tertawa.
Dia—Akhira Swastikaluna, biasa disapa Hira—begitu Ale menyapanya. Seorang gadis yang membuat sosok Ale jatuh cinta, sejak pertama kali berjumpa di usia Ale tujuh tahun hingga kini usianya tujuh belas tahun.
“Bukan Onadio Ale jika tidak bisa memukul bola dengan kuat hingga mengenai wajah pelemparnya itu sendiri atau orang-orang di bangku penonton hingga mimisan. Bukan Onadio Ale jika tidak bisa berlari dengan kedua kakinya yang kokoh. Dan, bukan Onadio Ale jika tidak bisa mengalahkan Tim Galantika 2002 di turnamen terbuka nanti!” gumam Hira sambil mebaca bukunya.
Gadis itu berbalik menatap Ale. “Apa itu nggak berlebihan, Al?”
“Nggak, itu malah kurang. Harusnya aku tambahin kalimat, Nando jangan banyak tingkah, reputasi lo abis bentar lagi,” jawab Ale dengan wajah datar.
Hira menghela napas panjang kemudian beranjak dari tempatnya duduk keluar dari kelas. Ale terdiam, dia menggulirkan kedua bola matanya dengan jenuh. Pemuda itu menutup kepalanya dengan jaket, lantas menempelkan pipi serta kepalanya di permukaan meja. Kelopak matanya terpejam dengan erat sesaat sebelum bel berbunyi.
Pemuda itu mengangkat kepalanya sambil merasakan suasana kelas yang panas nan bising. Jam pelajaran berikutnya dimulai, semua akan menjadi tenang di kursinya masing-masing setelah bu guru duduk di kursi depan dengan tatapan mata elang. Tak lama Hira datang lantas duduk anggun di sebelah Ale, seperti biasanya.