°TIGA°

33 19 14
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu dan kesanmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu dan kesanmu.

Sore lalu, saat Ale selesai menemani Hira belajar dengan sedikit paksaan karena kasihan. Ale langsung menyambangi taman tempat biasanya. Ale melemparkan bola bisbolnya bolak-balik dari tangan kanan ke kiri, begitu sebaliknya sembari melamun tidak jelas. Marino dan Aaron terlihat kebingungan.

Ralle spontan menoyor kepala Ale dengan tongkat bisbolnya. Ralle bertanya heran, “Tumben banget ingin ketemuan sama kita, kangen, ya, Le?”

“Iya, Al, kangen, ya?” Aaron menimpali dengan penuh canda.

“Gua bosen aja di rumah, nggak ada kegiatan.”

Ralle memainkan tongkat bisbolnya, memuar-mutar benda panjang bulat berbahan kayu itu ke udara sembari bersiul-siul. Ralle berdecak, “Nggak nyuci seragam, emangnya?”

“Nggak,” balas Ale dengan ketus.

“Eh, iya, lo udah kirim proposal pengajuan dana latihan ke pihak sekolah sebelum kompetisi pertama dibuka, Al?” Marino mengalihkan pembicaraan. Bola mata pemuda itu bergulir mengamati Ale dengan saksama. Pemuda itu tersenyum. “tinggal dua minggu lagi, loh,” sambungnya.

“Belum, nanti aja.” Ale merebahkan tubuhnya di atas rumput taman, tempat biasanya anak-anak itu berkumpul.

Sebuah taman kota yang asri dengan pemandangan gedung-gedung mewah, beberapa permainan seperti jungka-jungkit, perosotan dan lainnya. Tangannya terlipat menyangga leher dan kepalanya. Kelopak matanya terpejam erat, dadanya naik turun menghirup dalam-dalam udara segar siang menuju sore ini. Anak-anak lainnya ikut berbaring di atas rumput dengan posisi sama.

“Arti bisbol buat lo apa, sih, Al?” tanya Ralle santai, seraya menyikut tangan Ale di sampingnya.

“Arti bisbol buat gua banyak,” kata Ale dengan singkat.

Aaron mendadak tertawa, kemudian duduk dari berbaringnya. Membuat anak-anak lainnya ikutan bangkit, begitu juga dengan Ale. “Ada kaitanya sama Hira, ya?” selorohnya menggoda sang kapten tim.

“Nggak ada. Gua suka bisbol karena berharap suatu saat bola yang gua pukul bisa mendarat di wajah bokap dan nyokap gua.” Ale berujar demikian santai. Jemarinya memijat kening yang mendadak nyeri lagi. Jemarinya kini meremas rambut lebatnya yang hitam kecokelat karena terpapar senja.

Ale mendongak tegar, dia melanjukan kalimatnya, dia berkata, “gua harus membuktikan bahwa gua emang mampu jadi batter terbaik. Bisbol yang gua jalani bukan beban, bukan juga permainan panjang yang akhirnya game over.”

Semua teman-temannya tampak sangat serius mengamati wajah sang kapten. Mereka sadar di tengah rutinitas sekolahnya. Ada setitik keinginan yang tulus membuktikan bahwa mereka memang layak disebut anak untuk orang tuanya; yang mana kadang dipandang beban tanpa tahu seluk-beluk kehidupan remaja yang begitu rapuh. Memilih menjadi yang baik untuk menjadi yang terbaik. Berusaha menjadi istimewa untuk menjadi yang teristimewa tanpa ada perbandingan antara yang asli dengan standar anak tetangga.

Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang