Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Nyanyian serangga malam menemani Ale menikmati wajah langit yang biru kehitaman. Segelas kopi tutu dengan sedikit gula disesap oleh dirinya selagi masih panas. Kelopak mata itu sesekali terpejam. Sebagian besar jiwanya dipenuhi kecemasan, tetapi bibirnya tetap melengkung. Apalagi jika mengingat bagaimana cantiknya wajah Hira yang selalu ada dalam benaknya.
Angin berembus, menerbangkan tirai yang entah kapan terakhir diganti. Tirai yang berdebu nan usang, aromanya pun amat berumur. Ale duduk pada dinding jendela atap, tempat menyimpan barang-barang lama. Bahkan ada pula barang lawas milik ayahnya saat masih menjelma sebagai pitcher andalan.
Ale memeluk lututnya, mendekap langit pada pangkuannya untuk bantalan. Menjadikan angin malam sebagai selimut tubuhnya. Suara serangga adalah kenikmatan setelah letih dan bosan serta muak mendengar keluhan yang menyakitkan dada.
Memoar kepergian sang kakek masih jelas berjalan-jalan dalam pikiran Ale. Bergerak amat merangkak. Ale menitikan air mata, terkadang Ale merasa malu. Terlahir sebagai laki-laki tetapi hanya bisa menangis. Namun, Hira pernah mengatakan menangis bukanlah sebuah dosa. Menangis adalah sebuah anugrah, sebab banyak orang keras hati di dunia yang besar ini. Terhibur, tentu. Namun lagi, menyembunyikan rasa malu tetap Ale tak bisa lakukan di depan Hira. Tangis itu selalu membasahi pipinya.
Hanya Hira seorang yang tahu bagaimana hancurnya Ale sejak matahari terbit hingga bulan bangun dari pembaringan. Hanya Hira yang paham, berusaha memahami dan menyayangi. Meski ada Nanda yang menjaringnya dalam ketakutan dan kebencian. Sebab hari itu, jika bukan hari itu, mungkin Nanda akan tetap baik-baik saja. Seperti Nanda remaja yang datang dengan senyum dan sebuah jabatan tangan yang lembut keibuaan. Nanda yang selalu memberi Ale kenyamanan ketika bertamu, kehangatan ketika rasa lapar datang. Juga Nanda yang melindungi bagaikan langit-langit bercahaya pijar.
Kini, Nanda hanya kenangan. Kilas balik sebelum dua anak panah menghancurkan hati dan cintanya. Hanya seorang kakak yang ketakutan adiknya terluka. Kakak yang membenci sahabat adiknya, kakak yang berharap jika waktu bisa diputar mungkin tak akan pernah datang untuk membela.
Sayup-sayup alunan biola menggetarkan indera Ale. Senyum muncul di bibir tipisnya, teringat segala sesuatu tentang Hira. Gadis cantik yang diincar banyak laki-laki di sekolah, salah satunya Refka. Ale menggelengkan kepalanya, tersenyum geli memikirkannya.
Di rumah seberang, Nanda membungkus dirinya dengan selimut di kamar pribadinya. Dan Hira masih bermain biola di ruang musik. Hanyut dalam pilu, menebas rasa sedihnya, membuang rasa sesaknya, serta menangisi ketakutan sang kakak. Tersayat, batinnya. Air matanya bercucuran, sementara kelopaknya masih rapat terkunci. Bibirnya terkatup, bergetar menahan isak. Tubuhnya menggigil tatkala angin menghempas tirai dan jendela. Menimbulkan bunyi hentak yang membangunkan jiwa Hira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...