Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Seluruh warga sekolah berhamburan saat jadwal ujian nasional dipasang di mading oleh pak Kadim. Kawanan Ale berdiri memenuhi mading berbentuk tembok utuh tersebut. Selain informasi ujian, adapula informasi anak-anak berprestasi, agenda harian anak paduan suara, ekskul lainnya hingga nama Ale di dalamnya. Bagi orang tampak sangat luar biasa, tetapi bagi Ale hal itu membuatnya lelah. Ditambah hiruk pikuk rumahnya yang selalu disesaki amarah sang ayah, bau alkohol dan semua gunjingan orang-orang terhadap keluarga, dan masa lalunya. Ale menjadi murung, kehilangan gairah dan arti mengapa dirinya dilahirkan jika kehidupan ini terasa seperti jalannya yang mati.
Di tengah semarak para siswa menyambut UN, sudah hampir beberapa minggu Hira tidak sekolah. Bulan lalu dirinya terapi dan istirahat total setelah menjalani serangkaian rawat inap. Minggu ini sakit Hira kembali kambuh. Ale memandangi nama Hira pada daftar nama siswa pintar dan teladan. Wajah gadis itu selalu cantik, meski sakit menggerogoti hampir separuh jiwanya. Rambut sebahu itu selalu digerai, kalaupun diikat pasti diikat asal menampilkan rambut-rambut halus di area dahi dan pelipisnya. Anak rambut yang membuat wajahnya jadi makin cantik dengan senyum manis. Walau kerap rontok meski disisir jari.
Refka menabrakkan dirinya pada Ale hingga pemuda itu tersungkur mencium dinding. Ale langusng bangkit merasa tak terima. Namun, lagi-lagi jika teringat Hira dan Bantarious, amarahnya cepat hilang. Ale memilih pergi ke kelas, daripada berlama-lama berada di dekat Refka. Dia seperti kotoran yang menjijikkan. Namanya saja sudah bikin enek dan mual. Membayangkan wajahnya ingin melayangkan bogem, apalagi kalau di dekat atau berhadapan dengannya ingin rasa Ale mumukul Refka dengan bat sejauh mungkin.
Dinar melambaikan tangannya pada Ale, melangkah pemuda itu membuntuti sang pelatih. Keduanya menuju kantin, dua minuman dan roti kukus kesukaan Ale sudah ditata di meja. Beberapa waktu lalu pria itu memesan khusus untuk Ale. Meja yang cukup lebar menjadi media, keduanya saling menumpukan tangan di permukaan putih nan dingin tersebut.
“Ayo, dicicip.” Pria itu menyodorkan piring berbahan kayu di hadapannya kepada Ale.
“Terima kasih, Coach.”
“Sambil makan sambil ngobrol, ya. Ada yang harus kamu siapkan untuk beberapa waktu ke depan,” urai pria itu dengan senyum ramah. Kedua bola matanya yang hitam terang memancarkan bias senang.
Ale menikmati santapannya. Matanya tampak kosong, wajah Ale yang tak secerah biasanya membuat Dinar bertanya-tanya. Pria itu mengetuk permukaan meja dengan kuku jarinya. Dinar berdeham, membuat Ale menoleh pada dirinya dengan mata terbuka lebar agaknya terkejut. Ale meraih gelas air jeruk di dekatnya. “Iya, Coach?”
“Kenapa, Al?”
“Ah, nggak apa-apa, kok. Oh, iya, ada hal apa yang mau Coach bicarakan sama saya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Teen FictionOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...