OPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021
[Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021]
Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara.
Singkatnya begini, walaupun pertikaian...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Janganlupatinggalkanjejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
[Play Tbis]
Sebuah truk nyaris menabrak Ale, beruntungnya Ale yang memiliki tingkat refleks di atas rata-rata bisa menghindarinya dengan mudah. Ale membungkuk saat pengemudi truk besar itu memarahinya dari dalam kemudi. Ale terus membungkuk sampai akhirnya lolos dari amukan pria itu setelah ponselnya kembali berdering. Panggilan dari sang ayah membuat Ale jadi waspada. Pria gila itu bisa saja bertindak aneh, atau mungkin malah mengotori tempat umum lagi karena mabuk berat. Ale mendesah sambil masih berlari sekuat tenaga.
Badannya tenggelam dalam hujan yang panas. Penglihatannya yang masih kabur karena ditutupi air yang menggenangi lembar-lembar bulu mata hitamnya membuat Ale agaknya kesulitan mengendalikan pedarnya. Tak jarang dirinya hampir tersandung bahkan menabrak batu, dan menginjak logak. Ale berteriak kesal pada langit yang memandangnya di tengah-tengah iba, tetapi wajahnya tertawa.
Lampu rumah tidak padam, halaman tidak juga berantakan. Tetapi tak ada tanda kehidupan ayahnya. Pemuda itu menyisir teras sebelum memasuki ruang tamu. Bola mata Ale terbuka lebar saat pintu kamarnya royak dan seluruh pakaian sudah berhamburan mengotori lantai. Ale langsung menyambar pintu yang terkulai engselnya. “Ayah … ?” panggil Ale. Tetapi tak ada siapa pun di dalam ruangan tersebut.
Ale menyisir seluruh isi rumahnya dan hasilnya nihil. Ale kembali ke dalam kamarnya, mendapati lemari tempatnya menyimpan uangnya sudah kosong. Ale menendang lemari tersebut hingga lampu dan pernak-pernik di atasnya berjatuhan. “Sial!” raungnya menjambaki rambut kuyup tersebut.
Ale memutar bola matanya, terduduk di tepi kasur dengan tangan bertumpu di pangkuan. Susah payah dirinya mengumpulkan uang tersebut untuk merayakan ulang tahun Hira, belanja buku kiat-kiat UN, dan biaya masuk perguruan tinggi. Ale mengembuskan napasnya. “Ayah … emm, gua harus nabung lagi,” ucapnya lirih, membaringkan tubuh kuyupnya di kasur. Menatapi langit-langit kamarnya yang berhiaskan lampu pijar.
Angin kencang berhembus menerbangkan tirai, sayup-sayup alunan piano merintih pilu terdengar dari jendela. Ale bangkit, mendekatkan dirinya pada jendela dengan tangan bertampang pada dinding di depannya itu. Terlihat Hira tengah asyik serius menekan tiap-tiap balok putih berjajar di hadapannya. Tubuh itu mengikuti setiap gerakan tangan yang lembut. Sesekali lentikkan jemarinya terhenti, sebab menyeka air mata yang jatuh di pipi. Gadis itu tampak cantik dengan rambut yang dikuncir asal. Kelopak mata yang terkatup dengan bulu dan alis yang hitam seiras rambutnya, bibir merah alami yang terrutup rapat itu semakin membuat wajah Hira cantik tiada tandingan.