OPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021
[Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021]
Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara.
Singkatnya begini, walaupun pertikaian...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Janganlupatinggalkanjejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
[Play this]
Hira berdiri di bawah guyuran air hangat. Bahagia menggerayangi hatinya, nama dirinya menjadi daftar utama dan topik hangat para guru dan alumnus dalam grup Line. Bahkan tadi, sang reporter sekolah memotret dirinya, merekam secara terpisah bagian Hira menyanyi secara solo untuk bagian akhir Hymne sekolah.
Hira tak luntur tersenyum bahagianya. Namun, setelah berselancar di jejaring sosial melihat tak ada kebahagiaan di dalam senyum Ale. Meski Ale sukses mempertahankan gelarnya. Hira jadi murung. Kakinya menjajaki anak tangga menuju ruangan kecil yang Nanda siapakan untuk bermain musik. Ada piano, gitar, biola sampai beberapa alat musik tiup yang dilengkapi dengan partitur setiap lagunya.
Hira duduk di dekat jendela, tangannya membuka kotak biola. Diapitnya biola tersebut, diletakan dagu dan rahangnya pada chinrest. Jemari dari tangan kiri Hira mulai bergerak pada fingerboard bersenar lembut itu. Sementara jemari tangan kanannya, menggesekkan bow pada bridge. Bow bergerak naik, sesekali Hira memiringkan benda panjang dengan senar dari surai kuda tersebut.
Alunan suara lembut, sedikit melengking itu membuat Hira mengawang jauh dalam kesendirian. Terbawa dalam lagu sendu milik Billie Eilish dan Khalid bertajuk Lovely. Getaran dan resonansi suara yang terpancar dari dalam F holsetanpa sadar membuat kedua bola mata yang terkatup kelopak berbulu lentik itu menitikan kristal bening nan hangat. Tangan Hira masih menari lincah, memainkan setiap kunci-kunci nadanya. Setia menjamah senar juga menggesek permukaan bow senada rasa pilu dalam dadanya.
Nanda yang berdiri di depan pintu, tepat di belakang punggung Hira pun ikut merasakan alunan yang meremas relung sepinya. Nanda berlari memeluk tubuh sang adik. Badan biola dan bow terjatuh begitu saja ke pangkuan Hira. Kedua wanita itu menangis, kesepian setelah kematian kedua orang tuanya sepuluh tahun silam tak enyah. Sedetik selalu terpanjatkan doa, sedetik selalu terpanjatkan sebuah harap tentang pertemuan lagi. Pertempuran rasa rindu-mengutarakan banyak hal. Dari sedikit kebahagiaan sampai segudang rasa takut memerangi dunia yang lebih besar dari isi pikiran.
Rasa takut itu selalu membuat Nanda mengangkat senjatanya, memperkokoh sifatnya, membuat hatinya sekeras batu, tatapan matanya sedingin hujan di tengah samudera bersama ketakutan yang gulita, mungkin ini yang dinamakan mati pelan-pelan.
“Ra, gua nggak suka sama Ale bukan karena Ale itu anak pecandu, bukan. Gua nggak suka, karena gua takut ayahnya. Gua nggak tau isi pikirannya. Dan gua takut lo kenapa-napa,” jerit Nanda memekakkan telinga Hira.