Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.Ale dan anak-anak sudah menempuh dua puluh dua kali lari keliling lapangan olahraga sembari diawasi langsung oleh sang pelatih dan para senior tim. Menuju kompetisi, jadwal latihan akan digandakan, lebih dioptimalkan dan dievaluasi habis-habisan. Ale tampak baik-baik saja memimpin barisan di saat yang lain sudah kehabisan separuh napasnya. Pluit panjang nan melengking menghentikan lari anak-anak termasuk Ale. Pelatih menggiring mereka ke tepi lapangan. Seluruhnya duduk dengan kaki berselonjor untuk mencegah keram.
“Bagaimana udah panas belum?” tanya salah satu senior. Dia adalah Demaria.
“UDAH!” jawab mereka dengan kompak, tapi tidak dengan Ale yang hanya memilin bibirnya.
“Ale, masih kurang larinya?” Senior tersebut menatap Ale dengan tegas. Ale hanya menggeleng sambil tersenyum samar. “Kalau masih mau lari, sana lari sepuluh keliling lagi. Saya awasi kamu dari sini!” tawarnya tak segan-segan.
Ale terdiam, kemudian mengangkat bokongnya dari tanah. Melanjutkan larinya dengan tak pedulikan pandangan orang-orang akan dirinya. Meski jantungnya sudah terasa berdebar sakit. Tetapi, kakinya terus menapaki lapangan dengan lajur intens.
“Kak, kenapa Ale?” tanya Ralle dengan mimik protes.
“Saya nggak suka kalau kalian nggak kompak, kalian udah capek? Biarin Ale capek sebelum duduk bareng kalian.” Wajahnya jadi kusut, menampilkan kekesalan akibat diprotes juniornya. Pemuda bertopi biru dengan nama tim sekolah—Jkt Bantarious 1997—tersebut berdiri memandang para juniornya yang menunduk.
“Saya butuh kalian kompak, di mana kerja tim yang saya ajarkan tempo hari? Pelatih kalian udah capek, ya, kalian bagus sendiri-sendiri. Mana sikap yang saya ajarkan kalau sebagai tim kalian harus saling melengkapi?”
Pemuda itu menghadang langkah Ale, mengajaknya menjauh dari anak-anak yang sedang beristirahat. Ale tak banyak protes atau melawan. Topi di kepalanya dipasangkan ke kepala Ale. Menatap lekat-lekat seniornya, ada senyum sangat kacau karena kelelahan di wajahnya. Namun, Ale merasa heran dan aneh jadi satu. Ale mengulum bibirnya, sambil menunduk. “Kenapa Ale, Kak?” tanya Ale dengan lirih.
“Kamu punya yang anak-anak nggak punya. Kamu mendominasi mereka bahkan di lapangan pun, seakan semuanya milik kamu.” Pemuda itu balas menatap Ale dengan lekat-lekat. Senyum hangat nan misterius membuat Ale semakin heran dibuatnya.
“Saya akan berusaha keras.” Ale hanya menerka demikian pikirnya.
“Keras aja nggak cukup, masksimal aja juga nggak bisa bantu. Kuncinya, percaya sama kemampuan kamu, Al.” Sebuah belaian menjarat di kepala Ale dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Teen FictionOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...