OPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021
[Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021]
Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara.
Singkatnya begini, walaupun pertikaian...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Janganlupatinggalkanjejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Hampir tidak pernah ada kata berubah dari babak empat besar hingga final seperti tahun-tahun sebelumnya. Nama Bantarious dan Antisadrah selalu saling balap mendaki papan klasemen. Namun, tak pernah ada kata tak terima. Baik Bantarious ataupun Antisadrah selalu menerima hal itu dengan tangan terbuka. Menghargai kerja keras tim masing-masing bahkan saling bertukar cap sebagai rasa hormat dan suportif.
Hari ini jadwal pertama pemantapan, setelah terbelenggu beban Komka, kini Ale dan seluruh anak-anak Indonesia akan mengemban tugas negara sebelum kembali berperang, berlomba menaklukkan gerbang kampus pilihan masing-masing. Komka sudah selesai, akan tetapi jadwal Ale masih tetap padat merayap. Ada latihan untuk beasiswa non-akademik masuk universitas negeri di pulau Jawa.
Hira memegangi kepalanya saat hendak memasuki kelas dimana Ale tengah duduk di bangku sembari membaca novel Laskar Pelangi yang dipinjam dari perpustakaan tadi di jam istirahat pertama. Tubuh Hira tumbang ke arah Brayan-wakil humas kelas yang tengah membersihkan papan tulis. Nadia, Sanra dan Hannah menyanggah tubuh lemas itu dan mereka terduduk di lantai. Novel di tangan Ale tergeletak begitu saja saat pemuda itu berlari ke arah Hira dan teman-teman kelasnya.
“Panggil Divas sama Jeri!” titah Ale pada Brayan. Pemuda itu menuruti permintaan Ale yang bisa dikatakan ketua kelas tetapi ogah-ogahan melaksanakannya.
Anak-anak membuka ikat kepala Hira, memberikan ruang pada kepalanya dan mengibas-ngibaskan udara untuk meluruhkan panas di wajah Hira meski tangan gemetarannya dingin. Tak lama Divas dan Jeriko tiba bersama dua guru. Seperti hari itu, Hira terpaksa pulang lagi. Pasalnya gadis itu benar-benar melupakan obatnya. Ale duduk di samping Hira sembari menunggu Nanda datang ditemani oleh Jifara yang bertugas piket hari ini. Ale melirik Jifara, memberi tanda agar gadis berbando bunga itu keluar dari ruangan tersebut.
Ale beranjak dari bangku yang didudukinya. Mendekati jendela di sebelah lemari P3K. Ale mendesah, bola matanya menjadi redup dengan tangan yang bergerak menyusuri jengkal-jengkal kulit kepalanya frustrasi. “Lo pasti lupa minum obat lagi?!” tanya Ale emosional. Ditatapanya wajah Hira yang pucat pasi, tetapi agak sedikit mendingan setelah minum air hangat dan menyesap aroma terapi. Ale mendesah lagi, imbuhnya, “Jangan bikin gua khawatir kenapa, sih? Bisa nggak sih?!”
Embusan napas yang terdengar menjadi jawaban dari gadis yang masih merasakan jantung dalam balutan daging dan kulit itu berperang ketakutan.
Ale berjalan dengan tegap ke arah Hira tangannya mendarat di kedua bahu gadis itu. Bola mata Ale menampilkan rasa khawatir dan sakit yang gelap. Bibirnya terkatup rapat, sesaat sebelum dirinya menggertak kesal. “Kenapa lo nggak minum obat? Gua khawatir kalau lo sakit. Karena gua nggak bisa lihat lo terluka, karena gua sibuk, Ra.”