Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu dan kesanmu.Di seberang lapang terlihat Hira bersama kawanannya membawa makan siang, gadis itu tampak berjalan dengan salah tingkah saat suara anak-anak meneriaki namanya untuk “dicie-ciein” begitu bahasanya. Hira mendaratkan tangannya di depan wajah, menutupi area dahinya dengan telapak tangan; bibirnya dikulum meski terlihat bahwa dia tengah bersikeras menahan tawanya.
Hira berdiri di depan Ale, lalu menyodorkan kotak makan siang dari kantin sekolah. “Nggak dapat nugget ikan, dan kehabisan salad buah. Cuma makan sama nasi dan sosis goreng saus madu, nggak apa-apa, kan?” tanya Hira dengan raut wajah kurang yakin.
“Nggak apa-apa, kok. Makasih udah dibawain,” sahut Ale yang langsung melahap makanan tersebut. Meski rasanya sama seperti hari-hari biasanya, tapi masakan kantin hari ini terasa sangat nikmat sambil ditemani riuhnya angin pun rindangnya pohon.
Bola mata anak-anak bergulir menggoda, tangannya silih colek pada bahu ke bahu. Ale sadar, dipukulinya mereka dengan tangan yang memegangi sendok, pipinya yang penuh makanan tersebut hampir meledak karena ingin mengumpat. Gelak tawa mereka pecah, begitupun Hira yang senantiasa berdiri mengamati bagaimana Ale makan dengan nikmat hari ini.
Marino berdiri dari duduknya dengan tangan memutar-mutar handuk bagaikan koboi, tangannya merangkul Hira dengan santai yang sontak ditendang kakinya oleh Ale. Marino meringis, terpingkal-pingkal memegangi kakinya.
“Ra, lihat tuh, Ale tuh jinaknya cuma sama kamu doang, sama aku galaknya minta ampun!” ungkap Marino sembari tertawa.
Hira hanya tersenyum samar, dia menggeleng-gelengkan kepala. Melepaskan tangan Marino yang mendarat di bahunya. Gadis itu hanya memberikan tatapan santai atas ocehan Marino kemudian pamit pergi ke kelas, katanya akan membaca buku tugas takut ada ulangan dadakan. Beberapa anak meledek tingkah Marino, sedangkan Ale sibuk makan dan menyuapi Aaron dan dua anak lainnya yang kelaparan setelah main dua inning.
Marino memukul-mukul batang pohon seraya balik meledek anak-anak lainnya dengan merengek-rengek di depan pohon. “Gila, gila, gila, nggak ada kesempatan buat jatuh cinta sama Hira kalau nih orang masih jadi topik utama dalam hidupnya,” sindir Marino.
“Cinta gimana muka, sih, Mar.” Ale dan Aaron tertawa. Dua anggota tim yang dikenal tampan itu melemparkan botol bekal minumannya pada tubuh Marino yang menggeliat bagai cacing di depan batang pohon.
Hira melirik, angin yang terbangkan rambutnya semakin memperjelas bagaimana wajah gadis itu terbakar akibat salah tingkah. Memandangi Ale dari kejauhan membuatnya senang. Dia makan lahap, dia bahagia, dia semangat latihan dan tak ada yang bisa mengalahkan pukulannya; dia juga tampan jika tengah tertawa seperti saat ini berguyon bersama kawanannya. Ale itu seperti batu karang, kokoh, kuat dan tahan banting di luarnya. Tapi, seperti dasar laut, tak bisa ditebak di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Teen FictionOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...