Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Di kediamannya, Ale tidak bermaksud memperkeruh suasana hari lalu atau hari ini, hanya saja sudah cukup letih mendengar perdebatan tak berujung kedua orang tuanya. Pertengkaran sejak sore tak surut. Ale memandang penuh amarah saat ibunya berkemas dengan koper besar. Pemuda itu mengepalkan seluruh kekuatannya, menekan gerahamnya dengan kesal. Walaupun begitu, wajahnya tampak gelisah, dan bola matanya gemetaran.
Ale menyugar rambutnya, pemuda itu merintih, “Bunda yakin akan pergi bahkan aku belum menunjukkan performa terbaik yang aku punya?” Ale memandang sendu jadinya.
Wanita itu tampak tak hiraukan ucapan anaknya, melirik pada sosok pria yang terkulai lemah tak berdaya di atas sofa. Pria yang baru saja memukuli seluruh tubuhnya dengan berbagai benda yang ada di sekelilingnya. Wanita itu berdeham, “Iya, untuk apa Bunda tinggal di sini jika ayahmu tidak pernah peduli dengan nasib rumah ini? Jika ada pria lain yang bisa menafkahi lahir batin, mengapa Bunda harus tinggal?” paparnya dengan aura amat murka.
“Meski jadi perusak rumah tangga orang lain? Apa itu bisa dibenarkan? Aku malu, Bunda.” Ale mengaduh kesakitan.
“Bunda lebih malu!” raungnya dengan tangis yang mengiris hati. Wajahnya menjadi merah berkeringat, bola matanya berair basahi pipi dan seluruh riasan di bibirnya pudar. Wanita itu menunjuk pada pria yang terkulai tersebut. “Sampai surat perceraiannya resmi keluar, Bunda akan tetap kirim uang. Terserah mau dipakai apa, setelah itu jangan cari lagi, atau datang ke rumah itu!” pangkasnya menyudahi.
Lantas dirinya pergi membanting pintu, meninggalkan Ale yang berdiri mematung kesakitan.
Ale menundukkan kepalanya, menahan air mata yang meluap-luap sejadinya. Pemuda itu terjatuh ke lantai, punggungnya bersandar ke dinding. Bola matanya mengamati seluruh lantai yang dikotori berbagai barang pecah belah. Ponselnya berdering, sebuah pesan dari Hira, jikalau gadis itu sudah menunggu sejak tiga puluh menit di taman komplek. Ale bergegas menemuinya, meski masih sakit terasa setiap kali kakinya melangkah keluar rumah. Namun, diam pun tetap menyakitkan hatinya.
Semuanya menjadi putih, mengalum sempurna lantas pergi. Begitulah bulan tampakkan dirinya malam ini. Di jam delapan lewat sepuluh ini, kaki Ale menjelajah tanah kota yang tak pernah tidur. Kerlap-kerlip lampu gedung dan taman iringi perjalanannya. Hira sudah berdiri menyambutnya dengan lambaian tangan hangat. Senyum gadis itu membuatnya merasa semakin tenggelam dalam sakit.
Bukankah akan lebih baik menjadi yatim piatu seperti Hira? Tak perlu mendengarkan berbagai keluhan menjijikan setiap harinya? Bukankah menyenangkan hanya tinggal seorang diri saja? Mungkin opsi yang lumayan baik tinggal dengan saudara yang diam-diam perhatian? Bukankah tak harus berjuang sendirian? Batin Ale carut-marut tak karuan. Pemuda itu sesekali mendongak ke langit sambil menarik napas panjang guna menenangkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita, Aku dan Kamu[✔] [SUDAH TERBIT]
Teen FictionOPEN PRE ORDER NOW! 8-15 November 2021 [Ikut serta dalam event LovRinz Writing Challenge 2021] Di sini hanyalah secuil kisah seorang batter (pemukul bisbol) terbaik sekolah, bersama sang soprano paduan suara. Singkatnya begini, walaupun pertikaian...