"Ra, bangun!" Aku mengerjapkan mata, melawan kilau cahaya yang mulai memasuki retina.
"Adam..." lirihku, ketika melihat laki-laki kecil tengah duduk memegang tanganku.
"Alhamdulillah, sadar juga." Aku menatap sekitar, linglung. Apa yang terjadi?
"Kamu kenapa bisa sampai pingsan?" Ilham menatapku khawatir. Aku memegang kepalaku yang terasa pusing. Kejadian tadi sebelum aku pingsan kembali berputar dalam memoriku.
"Malik!"
"Maksud, kamu?"
"Tadi, aku ketemu sama Malik, Ham. dia...."
"Tidak ada Malik, Ra. Mungkin itu cuma halusinasi kamu saja." Aku menggeleng keras. Aku tidak salah, aku benar-benar ketemu dengan Malik.
Aku hendak kembali membuka suara, namun notifikasi dari handpone Ilham mengurungkan niatku. Dia terlihat membuka handponenya dengan cepat, memandangku sejenak sebelum kembali mengantonginya.
"Adam, bisa jaga kak Rara? Kakak ada urusan sebentar." Adam mengangguk, dia masih erat menggenggam tanganku.
"Mau kemana?" Aku menatap Ilham curiga, kecurigaanku ini memiliki dasar yang kuat. Suara notifikasi yang masuk tadi sangat berbeda dengan yang biasanya. Apakah ada satu orang yang dia khususkan?
"Aku ada urusan sebentar, nanti kalau ada apa-apa, telpon ya." Tanpa sengaja aku mendengus kesal mendengar jawaban yang masih sangat umum itu.
Aku tahu dia ada urusan tapi yang aku mau jawabannya itu, apa urusan yang mau dia urus, sampai terlihat sangat penting seperti itu.
Sudahlah, peduli apa aku. pergi saja sana, mau dia ngapain, kek, terserah.
Ilham menatapku tidak bergeming.
"Apa?! Ya sudah pergi sana!..." Bibirku langsung bungkam ketika sadar kalau ada Adam di antara kami berdua.
Jangan ngegas, Ra. Ingat, ada Adam. Aku menarik napas sejenak, lalu pura-pura tersenyum.
"Kakak Ilham hati-hati di jalan, ya. Pergi lama juga nggak apa-apa, kok. Iya, kan, Dam." Ilham menunduk mengusap kepala Adam yang masih saja diam melihat tingkah laku kami berdua.
"Dam, perempuan kalau cemburu, bawaannya pengen ngegas doang, ya?" Adam mengangguk sembari menatapku juga.
"Eh..."
"Udah, aku pergi dulu, jangan mikir yang macam-macam." Ilham menarik tangannya dari kepala Adam, dan kini beralih mengusap kepalaku yang tertutup hijab.
Aku diam, bibirku kelu, entah kenapa satu katapun tak bisa aku ucapkan.
Ya Allah, tolong...Ilham terlalu manis kalau seperti ini. Rasanya kadar gula di wajahnya meningkat 100% kalau lagi senyum dan bertingkah lembut seperti sekarang.
Astaghfirullah, Sadar, Ra!
Ilham bergegas keluar setelah memberikan senyum termanisnya. Tapi senyum itu tidak membuat kecurigaannku hilang begitu saja.
Sebenarnya siapa yang mengirim pesan kepadanya?
"Kak..." Adam semakin menggenggam tanganku erat. Suaranya begitu lirih ketika memanggilku.
"Kenapa, Dam?" Aku bangkit dari pembaringan, nyatanya memang aku tidak sakit hanya terkejut dengan apa yang aku lihat tadi.
Tangan mungilnya terangkat, menunjuk ke arah jendela. Retinaku ikut mengikuti.
"Ada olang," Lirih Adam. Aku yang memang memiliki masalah dengan pengelihatan jarak jauh sedikit menyipitkan mata, namun tidak ada seseorang yang aku lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM|| On Going
Horror"Kebahagiaan aku, ketika melihat kamu menderita." 👽👽👽 Siapa sangka, di hari bahagianya, di sanalah awal duka itu kembali. Kejadian di masa lalu ternyata belum bisa terlepas sempurna dari bayang-bayang kehidupan Rara. Kematian sang Nenek, kembali...