"Kita mau nikah, atau mau adain acara pashion show, sih? Kenapa gaunnya banyak banget?!" Aku belum berhenti ngedumel, meski sekarang aku dan Ilham sudah berada di dalam mobil. Waktu Isya sudah masuk 10 menit yang lalu, dan dengan santainya dia membawaku pergi dari rumah meninggalkan Adam sampai malam seperti ini.
Belum sampai disitu kekesalanku, Ilham bahkan membuatku bolak-balik ke ruang ganti selama hampir 1 jam untuk mencoba gaun yang telah Ilham pilih, dari sekian gaun tersebut aku pikir dia hanya membeli 2 atau 3 stel gaun pengantin, tapi ternyata aku salah. Bisa-bisanya dia membeli 10 gaun pengantin sekaligus, memangnya aku mau passion show?
"Katanya kamu suka semua tadi, ya aku beliin."
"Ya, bukan diborong semua juga, Bambang!"
Sudahlah, capek bicara sama manusia pintar.
"Ya, gampang. Tinggal dibalikin nanti, yang nggak kepakai."
Oh, oh, oh! Ringan sekali ya Ilham bicara, seperti tidak ada beban yang menghalangi mulut manisnya.
"Itu sama aja, Bikin pemilik butik merasa tersinggung."
"Nggak, lah."
"Percaya diri sekali anda, mas!" Aku tidak mengerti lagi, dah. Bagaimana cara kerja otak Ilham. Kenapa dia seolah menganggap masalah besar itu adalah hal sepele.
"Yang punya butiknya itu, kan, kita."
"Apa?!"
"Astaga, Rara. Volume suaranya tolong dikecilkan."
Refleks aku langsung meninju lengan Ilham yag sedang menyetir. Dia pikir aku akan menurut untuk mengecilkan volume? Oh, Ilham salah besar, justru sekarang dia akan mendengar bagaimana suara cempreng ini menusuk gendang telinganya.
"Kamu itu benar-benar ya....!"
"Sudah, ya. Lagian salah kamu sendiri, siapa suruh cantik pakai semua gaun itu." Aku membeku mendengar ucapan Ilham yang mungkin menurut dia hanya sebuah candaan.
Ok, Stop! Jangan Baper, Ra!
"Cie... yang baper!"
Memang jenis manusia satu ini, tidak bisa lihat orang bahagia sedikit apa.
Aku mendengus, mengalihkan pandanganku keluar, aku rasa pohon-pohon di tepi jalan ini akan lebih mengerti aku dari pada Ilham.
Ciiiit!!!
Belum hilang rasa kagetku karena Ilham tiba-tiba ngerem mendadak, dia segera menepi dan turun dari mobil, belum cukup sampai disitu, aku melihat dia menyetop sebuah taksi.
Untuk apa? Apakah dia tidak cukup dengan mobil yang saat ini kami tumpangi? Sudah malam beginiada saja kelakuannya yang membuatku tidak habis pikir.
"Ra, kamu pulang naik taksi dulu, ya. Aku ada urusan sebentar."
"A-apa?"
Tidak salahkah gendang telingaku menangkap pantulan bunyi yang ilham ucapkan?
Pulang naik taksi? Sendiri? Dalam keadaan malam-malm seperti ini?
"Nggak lagi bercanda, kan?"
"Aku serius, Ra. Kali ini saja, ya."
Meski kesal, aku mengikuti intruksinya untuk turun dari mobil. Ilham terliat gelisah, melirik ke segala arah seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang?
"Maaf, ya..."
Dengan sedikit kasar, aku menutup pintu taksi tanpa ingin mendengar apa yang akan diucapkan Ilham lebih lanjut.
Baru saja aku merasa diterbangkan sekarang sudah dihempaskan kembali ke permukaan.
Alisku menukik kecewa, ketika Ilham langsung memasuki mobil setelah aku menutup pintu taksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM|| On Going
Horror"Kebahagiaan aku, ketika melihat kamu menderita." 👽👽👽 Siapa sangka, di hari bahagianya, di sanalah awal duka itu kembali. Kejadian di masa lalu ternyata belum bisa terlepas sempurna dari bayang-bayang kehidupan Rara. Kematian sang Nenek, kembali...