Bukan Iqlima

155 35 34
                                    

Hi! Update lagi, nih😄 Semoga masih betah untuk menunggu, ya😁 Jangan lupa vote⭐ dan comennya, ya💬😘 Comen di setiap paragraf juga nggak apa-apa😂

Oh, ya, mau nanya, nih, boleh ya. Sampai part ini ceritanya gimana? Seru kah? atau malah garing dan krik-krik-krik? Hehehe, lagi butuh krisar (Kritik dan saran) dari kalian😅 Biar aku nulisnya makin semangat😍
👽
👽
👽

Ok, ok, kita sudahi basa-basinya, Selamat membaca, semoga suka dengan part ini❤❤

👽 👽 👽

"Maaf, kalau selama ini aku tidak jujur."

Maaf? Apa segampang itu aku haru memaafkan? Apakah harus ketahuan seperti ini dulu, baru dia akan jujur, kemudian minta maaf?

Mungkin saja jika tidak terciduk seperti ini, Ilham masih akan merahasiakan ini semua. Mungkin kesalahan lain bisa dimaafkan dengan mudah, tapi apakah perselingkuhan dalam sebuah hubungan bisa di maafkan dengan gampang? Rasanya tidak.

Aku tak bergeming, masih enggan menatap Ilham yang masih berdiri di depanku.

Kalau bukan karena Adam, aku pasti sudah keluar dari kamar ini.

"Ra..."

"Nggak apa-apa, santai aja. Aku nggak cembur, kok."

"Bohong, aku tahu kamu marah, kamu kecewa..."

"Ilham, dengar ya! Mau kamu ngelakuin apapun, terserah! Itu hak kamu. Aku? Nggak ada hak buat ngelarang. Toh, aku yakin, kamu sudah tahu mana yang bener dan nggak!"

Oh, sok bijak sekali anda Rabbania Zaikalina. Tapi memang benar, kan, itu semua bukan urusan aku. Ya, walaupun sedikit menganggu pikiran.

"Aku nggak selingkuh, aku nggak ngapa-ngapain sama..."

"Nggak selingkuh? Nggak ngapa-ngapain? Terus yang tadi namanya apa? keluar sambil Papah-papahan di tempat yang kotor seperti itu! Sama Iqlima lagi, apa nggak ada perempuan lain, ah?! Oh, bentar, bentar..." Aku bangkit sembari menatap Ilham lekat.

"Jadi selama ini, kamu yang nyembunyiin Iqlima dari polisi?!"

Astaga, Rara. Kenapa jadi ngegas seperti ini? Bukankah tadi aku bilang itu semua bukan urusan aku.  Kenapa sekarang malah aku permasalahkan.

Nggak! Bagaimanapun, Pokoknya aku nggak salah, yang salah di sini adalah Ilham, titik!

Ilham menarik napas sejenak, lalu berjalan menutup pintu kamar.

"Ngapain ditutup-tutup?!" Aku berjalan hendak membukanya kembali, tapi Ilham segera menarikku kembali untuk duduk di atas tempat tidur.

"Harus ya, ngomongnya teriak-teriak gitu?"

Oh, jelas harus! Ilham pikir, sikapnya yang sok lembut seperti ini akan membuat aku luluh? Jangan harap!

Ilham lagi-lagi menarik napasnya. Dia terlihat begitu lelah. Tapi, peduli apa aku sama dia. Dia sendiri yang membuat hidupnya lelah seperti ini, coba aja jangan banyak tingkah, pasti hidupnya sudah tentram.

Termasuk kehidupan aku, jika Ilham nggak masuk dan ada dalam skenario kehidupan aku, mungkin saja sekarang, aku sudah hidup bahagia dan tentram, tanpa harus pusing-pusing memikirkan hal-hal di luar nalar ini.

"Aku nggak nyembunyiin Iqlima, Iqlima memang sudah keluar dari penjara, karena dia tidak terbukti bersalah dalam kasus kematian Malik."

Sudah keluar? Bukannya ustadzah Salma bilang Iqlima kabur dari penjara.

"Bu-bukannya dia kabur?" Alis Ilham tertaut sempurna mendengar ucapannku. Dari raut wajahnya, sepertinya perkataanku malah membuatnya bingung.

"Siapa yang ngasih tahu kamu seperti itu?" raut wajah Ilham berubah serius, bukannya tadi tidak serius, tapi sekarang semakin tambah serius.

DENDAM|| On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang