Meski tak mengharapkan apapun dari Ilham, tapi ternyata cukup sakit jika mengetahui dia seperti ini di belakang aku.
Lebih membuatku tidak habis pikir adalah, kenapa dia harus bersama dengan Iqlima, kenapa tidak mencari perempuan lain yang tidak aku kenal.
Sakit bukan karena aku sudah sayang atau cinta sama Ilham, tapi memang aku hanya merasa di bohongi dengan sikap dan perkataannya yang seolah-olah ingin selalu menjagaku dan Adam.
Ayolah, Ada apa dengan mata ini, kenapa dia tidak berhenti berembun.
"Ciee... yang sudah pulang fitting baju." Entah sejak kapan Dela, dan Fitri datang ke rumah menemani Nisa yang sedang menjaga Adam.
"Kalian... Sejak kapan di sini?"
"Itu mata kenapa?"
Jangan panggil dia Dela, kalau manusia satu itu tidak peka terhadap keadaan di sekitarnya.
"Aku tahu, aku tahu!" Fitri meloncat kegirangan, sembari menatapku antusias.
"Pasti kamu terharu ya, karena sebentar lagi pernikahan impian kamu akan terwujud! Aaaaa! Jadi iri!"
Pernikahan impian, dengkulmu!
Membayangkan aku sudah menjadi istri orang seusia ini saja sudah membuat mentalku down.Dan sekarang aku dihadapkan dengan kenyataan kalau ternyata Ilham bermain perempuan lain di belakang aku.
Jika memang dia juga tidak menginginkan pernikahan ini, tinggal cerai saja, maka semua akan selesai, dan tentunya tidak akan ada yang merasa dikhianati seperti ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, tanpa menjawab ataupun menyanggah ucapan Fitri, kulangkahkan kaki masuk ke kamar, menemui Adam dan Nisa di dalam.
"Aku salah ngomong, ya, Ra? Maaf ..."
Bukan mereka yang salah, hanya saja memang keadaan hati aku yang sedang tidak bersahabat.
"Eh, udah balik, Ra. Ilham mana?"
Perasaan dari tadi yang jadi pertanyaan mereka adalah semua yang menyangkut Ilham, apakah tidak ada topik yang lain?
"Nggak tahu, bukan urusan aku!" Nisa diam seketika, mengenalku cukup lama membuat dia tahu, dari nada bicaraku kalau saat ini aku tidak ingin membahas apapun yang berkaitan dengan Ilham.
Aku mungkin sudah keterlaluan kepada mereka, seharusnya rasa marahku ke Ilham tidak aku bawa juga ketika bersama mereka.
"Maaf ya, Ca. Aku nggak bermaksud..."
"Nggak apa-apa, Ra. Aku paham, kok." Nisa tersenyum lembut, membuat rasa bersalahku semakin besar karena membentaknya tadi.
"Kak..."
"Eh, iya, sayang. Kenapa?" Adam bangkit dari tidurnya, kemudian memelukku erat.
"Kak Rara, jangan sedih ya, masih ada Adam di sini. Tapi kalau mau nangis, nangis aja, nggak apa-apa. Kata Nenek, nangis bisa bersihin mata dan pikiran."
Kupeluk Adam dengan erat, sembari memejamkan mata dan mengusap kepala mungilnya.
Satu tetes, dua tetes, aku masih sanggup untuk berpura-pura tersenyum. Namun semakin aku tersenyum, deraian yang keluar semakin deras.
Entah sekarang berapa tetes air mataku yang kini sudah membasahi punggung kecil itu.
"Adam... Bi-bisa ngomong R sekarang?"
Mendengar ucapan Nisa, membuat aku tersadar dan segera melepas pelukan Adam.Apa iya? Aku benar-benar tidak memperhatikan secara detail setiap huruf yang Adam ucapkan tadi.
Aku menatap laki-laki mungil itu dengan tatapan menunggu klarifikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM|| On Going
Terror"Kebahagiaan aku, ketika melihat kamu menderita." 👽👽👽 Siapa sangka, di hari bahagianya, di sanalah awal duka itu kembali. Kejadian di masa lalu ternyata belum bisa terlepas sempurna dari bayang-bayang kehidupan Rara. Kematian sang Nenek, kembali...