Meski kesal aku masih saja mengekori langkah Ilham, dia terlihat mencari sesuatu ketika sudah berada di depan teras.
"Si...si...si...."
Aku memperhatikan gerak-geriknya, Ilham berjongkok ketika seekor kucing menghampirinya.
Dibukanya kantong plastik pemberian ustadz Syarif tadi.
"Ikan?" Aku bergumam heran, Ilham benar, ustadzah Salma tahu kalau aku tidak suka makan ikan, jadi bisa diragukan kalau itu di titipkan oleh ustadzah Salma, tapi kenapa ustadz Syarif mengatakan bahwa itu dari ustadzah Salma?
Atau sebenarnya titipan itu memang dari ustadzah Salma tapi bukan buat aku? Bisa jadi untuk Ilham atau Adam, bisa di bilang mereka berdua sangat suka makan ikan, bagaimanapun bentuk dan rasanya.
Aku kembali fokus memperhatikan Ilham yang sekarang tengah memberi makan kucing tadi dengan ikan yang tadi dia keluarkan.
"Kenapa bukan kamu aja yang makan? Kamu, kan, juga suka ikan?"
Aku menatap punggung Ilham geram, karena dia sama sekali tidak menanggapi pertanyaanku.
Aku berjalan menghampiri Ilham dengan kelopak mata melebar sempurna setelah beberapa menit menyaksikan kucing itu memakan ikan tersebut dengan lahapnya.
"Eh, kucingnya kenapa?"
Aku menatap khawatir melihat kucing tersebut tiba-tiba merebahkan tubuhnya lalu memejamkan mata.
"Masih mau suruh aku makan ikan ini?"
"Ah? Maksud kamu, ikan itu ada racunnya?" Aku semakin menatap tak percaya. Kulangkahkan kaki mendekati kucing yang saat ini berbaring tenang dengan mata tertutup di rumput depan rumahku.
Aku melihat napas masih membersamai tubuh kucing malang itu.
"Ham, bawa ke dokter hewan ayo! Selagi kucingnya masih napas. Kamu kalau tahu makanannya berbahaya, jangan dikasih ke makhluk lain! Kan, Kasihan kucingnya nggak tahu apa-apa, jadi sekarat gini!"
Baiklah, mungkin aku memiliki bakat tependam untuk menjadi emak-emak yang suka mengomel.
Bodo amat dengan tanggapan Ilham nanti tentang aku, yang paling penting sekarang adalah keselamatan kucing yang bernasib malang ini.
Ilham bangkit, aku kira dia mengindahkan ucapanku. Namun ternyata Ilham malah mendekati tong sampah dan membuang sisa ikan yang tadi belum sempat kucing itu habiskan.
"Ham!" Lagi-lagi aku menatap nyalang, bisa-bisanya si Ilham tidak khawatir sedikitpun. Dasar human, tidak berperikehewanan.
"Udah, tinggalin aja. Nanti bangun sendiri, kok!"
"Ah!?"
"Itu cuma efek obat tidur, bukan racun."
"Ah?" Ilham berlalu, tanpa merespon kekagetanku.
Aku menatap kucing itu dengan wajah dungu. Ternyata bukan sekarat tapi kucingnya tidur pulas.
"Nanti kalau bangun, pura-pura hilang ingatan aja, iya, cing. Biar kamu nggak kepikiran sama aku yang khawatirin kamu kayak gini."
Kurapikan jilbab yang sedikit berantakan, sebelum beranjak masuk ke rumah.
"Nah, akhirnya masuk juga, betah banget di luar, kalian habis ngapain, sih?"
Aku tidak menggubris ucapan Nisa, Moodku sudah terlanjur berantakan oleh Ilham.
Niat kaki hendak melangkah masuk ke kamar Adam, tapi ucapan Ilham mampu membuatku membalikkann badan menghadapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM|| On Going
Horror"Kebahagiaan aku, ketika melihat kamu menderita." 👽👽👽 Siapa sangka, di hari bahagianya, di sanalah awal duka itu kembali. Kejadian di masa lalu ternyata belum bisa terlepas sempurna dari bayang-bayang kehidupan Rara. Kematian sang Nenek, kembali...