Teman Adam

139 28 22
                                    

"Ma...Malik...."

"Aku sudah tahu siapa yang membunuh Ridwan," ucap malik datar. Entah sejak kapan dia berada di tempat ini, atau apa mungkin dia memang sengaja mengikutiku.

Aku segera bangkit, memundurkan langkah agar tidak terlalu dekat dengannya.

"Si-siapa?" tanyaku ragu, apa hasil otopsinya sudah keluar?

"Tapi kamu mau berjanji,'kan, Ra? Untuk bantu aku?"

"Kenapa harus aku?" tanyaku lagi. Bukankah dia sudah bekerja sama dengan polisi, jadi untuk apa dia meminta bantuanku lagi.

"Karena sepertinya kamu juga kenal orangnya."

Aku tak dapat menyembunyikan rasa kagetku. Aku sudah tahu dari Ilham kalau bukan Iqlima yang membunuh Malik, eh, maksudnya Ridwan. Tapi kami berdua juga belum tahu siapa pembunuh aslinya.

Dari ucapan Malik pikiranku jadi menerka-nerka, siapa sekiranya yang terlihat mencurigakan dari orang-orang yang aku kenal.

"Siapa?" Aku kembali bertanya.

"Sudahlah, sepertinya kamu memang tidak ingin menolongku. Terpaksa aku turun tangan sendiri." Malik langsung pergi setelah menyelesaikan ucapannya.

Aku menarik napas pelan, bukannya tak ingin membantu, tapi aku takut salah mengambil keputusan jika dalam keadaan seperti ini.

Aku ingin mengambil pelajaran dari masa lalu, ya setiap aku mengambil keputusan yang mendesak pasti ada saja hal yang tidak diinginkan terjadi.

Aku masih mematung di tempat, ketika suara langkah kaki kembali terdengar mendekatiku. Suasana yang gelap membuatku tidak bisa melihat dengan jelas. Apa Malik berubah pikiran dan kembali ingin meminta bantuanku?

Namun, setelah dipikir-pikir aku memang harus membantu, karena kematian Ridwan ada sangkut pautnya dengan aku. Ilham juga sedang mencari informasi ini juga. Anggap saja aku plin-plan.

"Malik... Ok, aku...."

"Malik?"

Seketika aku gelagapan, setelah mengenali siapa pemilik suara itu.

"Ilham?! Kau ngapain ke sini?! Aku masih kesal sama kamu! Jadi... Jangan dekat-dekat!"

Jangan panggil aku Rara jika tidak bisa mengalihkan suasana dengan cepat.

Ilham semakin mendekat, menatapku dengan lembut.

"Aku khawatir, kamu kalau mau keluar kasih tahu dulu, bisa, 'kan? Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?"

Aku menunduk merasa bersalah. Kali ini aku akui kalau aku salah. Tapi itu gara-gara Ilham yang membuatku selalu kehabisan stok sabar.

"Maaf," cicitku.

Ilham mengusap ujung kepalaku lembut.

"Nggak ada yang aneh-aneh, 'kan?   Dari tadi firasatku tidak enak."

Aku mendongak, manik mataku beradu pandang dengan retina hitam itu, lalu dengan ragu menggeleng.

DENDAM|| On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang