|| Antara dua pilihan ||

287 63 33
                                    

"Rara..."

"I-iya...Ca..." Aku berbalik, segera menghadap Nisa.

"Ternyata di sini, masuk ayo! Adam nyariin."

"Kamu duluan aja, aku masih mau menghirup udara segar dulu." Nisa mengangguk, dia kembali masuk ke rumah.

Aku menghela napas panjang, sembari menyenderkan tubuhku di bangku. Hampir saja Nisa melihat keberadaan Malik.

"Dia sudah pergi," lirihku. Malik bergegas keluar dari tempatnya bersembunyi.

"Aku minta maaf, kalau membuat kamu susah." Kugelengkan kepala, Malik sama sekali tidak membuatku susah. Hanya saja keberadaannya di sini terlalu lama dan jika sampai diketahui oleh orang lain, akan berakibat tidak baik.

"Mending, sekarang kamu pergi."

"Aku mohon bantu aku, Ra." Tatapan penuh harap itu membuatku segera memalingkan pandangan.

Kenapa aku jadi bingung sendiri dengan situasi saat ini.

Ayo, Ra! Apa susahnya kamu cuma tinggal bilang kalau kematian Ridwan memang bukan karena insiden tak sengaja, tapi memang karena ada dendam dari Iqlima, dengan begitu masalahnya akan cepat selesai.

Tapi bagaimana dengan Iqlima? kasihan dia, dia sendiri sekarang masih jadi buronan gara-gara kabur dari penjara, kalau aku sekarang kasih tahu Malik, berarti hukuman yang akan diterima Iqlima akan semakin berat, aku benar-benar nggak tega.

Tapi... Masih ada tapinya lagi. Kalau sekarang aku nggak kasih tahu Malik, otomatis kasus ini akan dibuka kembali. Terus jika kasus ini kembali di buka, akan lebih banyak orang yang akan menjadi tersangka, dan ujung-ujungnya Iqlima juga yang kena. Dan akan lebih parahnya lagi, nama baik pesantren akan tercemar.

Aku memejamkan mata sejenak, menghentikan perang batin yang sedang bergejolak ingin memenuhi kepala.

"Baiklah....Aku pergi, Assalamu'alaikum." Ucapan Malik menghentikan perdebatan hebat di kepalaku, ada rasa bersalah melihat laki-laki itu pergi tanpa mendapatkan hasil yang dia mau.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," Lirihku sembari menatap punggung Malik yang perlahan terhalang gerbang.

Mungkin untuk saat ini, aku memang lebih baik diam.

Kembali kusenderkan tubuh mungil ini, menatap langit luas sembari menyadarkan diri bahwa aku memang tidak sedang bermimpi.

Aku masih tidak habis pikir, bagaimana bisa ini semua terjadi, kenapa Malik dan segala masalahnya kembali membuatku pusing.

Tunggu, bukan Malik yang memiliki masalah tapi...aku. Iya aku dalang dari masalah ini yang kini tanpa sadar telah melibatkan banyak orang dalam masalah hidupku.

Jika bukan karena aku, Ridwan, kembarannya Malik tidak akan berada dalam tong itu dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

"Malik masih hidup..." Aku menarik napas pelan, ada rasa lega mengetahui itu semua, tapi bukan berarti aku bahagia kalau yang meninggal itu bukan Malik.

Krak!

Kugerakkan kepalaku mengarah ke sumber suara, nampak seperti ada bayangan yang tak sengaja tertangkap oleh indra pengelihatanku.

Rumahku yang memang lumayan jauh dari tetangga dengan pepohonan yang banyak tumbuh di belakang dan samping rumah membuat insting waspada di tubuhku bekerja.

Suara tadi jelas-jelas seperti ranting yang diinjak. Apa ada orang lain lagi selain Malik yang datang hari ini? Jangan sampai kejadian waktu Adam hilang kembali terulang.

Aku kembali memfokuskan pendengaran, sembari beranjak mendekati sumber suara.

"Siapa?!" Antara aku yang bodoh atau mulutku yang tak singkron dengan pikiranku. Jika memang benar ada orang yang bersembunyi, dia tidak akan mungkin menjawab pertanyaanku.

DENDAM|| On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang