Typo bertebaran, mohon koreksinya😊
Selamat membaca😍
Perjalanan kami menuju rumah baru, dihinggapi rasa sunyi. Ilham yang fokus menyetir, Adam yang masih terlelap, dan aku yang tengah sibuk dengan pikiranku sendiri.Kapan kehidupanku bisa normal seperti dulu? Damai, tentram, setidaknya jika ada masalah, bukan masalah yang abnormal seperti ini.
"Ra." Suara Ilham membuyarkan lamunanku.
"Kenapa, Ham?" Aku menoleh ke arahnya. Ilham tersenyum lembut, lagi-lagi mengusap kepalaku sebelum kembali berbicara.
"Turun, yuk. Sudah sampai."
"Emang, iya?" tanyaku tak percaya sembari mengedarkan pandangan.
Ternyata mobil kami memang sudah terparkir indah di pekarangan sebuah rumah yang menurutku lumayan besar hanya untuk di tempati oleh kami bertiga.
Ilham membukakan pintu mobil, lalu mengambil alih Adam dari pangkuanku.
Jika diperhatikan semakin hari Ilham terlihat semakin perhatian kepadaku, atau emang hanya firasatku saja.
"Adam nggak bangun?"
Ilham menggeleng sembari mengusap punggung Adam dengan sebelah tangannya.
Cukup aneh, anak itu tak bangun-bangun meski dari tadi tidurnya cukup terusik. Biasanya jika ada pergerakan sedikit saja, Adam pasti akan terbangun.
Yang aku tahu, Adam sangat peka dengan keadaan di sekitarnya. Berpikir positif saja, mungkin Adam terlalu capek, karena dari kemarin juga kurang tidur.
Ketika aku turun, hal pertama yang aku lihat adalah pemandangan indah yang terpampang di depan mata.
"Rumah ini... Berada di atas bukit, Ham?" tanyaku takjub, pasalnya sekarang dari halaman depan rumah ini, kami sudah bisa melihat pemandangan kota yang masih terlihat hijau.
Ilham mengangguk. Perasaan dari tadi dia hanya mengangguk dan menggeleng. Ya, bagus, sih, dia akhirnya tidak cerewet dan membuatku kesal, tapi agak aneh saja menurutku. Karena ini seperti bukan Ilham.
"Jadi ingat pesantren, biasanya kalau mau lihat pemandangan indah, kami pasti izin ke area pemakaman, karena cuma di sana tempatnya lumayan tinggi."
"Coba ihat itu!" Ilham menarikku sedikit maju. Aku menurut, memandang ke arah yang di tunjuk oleh Ilham.
"Masyaa Allah! Astaga, i-itu beneran..." Retinaku menatap Ilham seolah meminta kepastian, bahwa yang aku lihat benar-benar nyata.
"Iya, itu pesantren kita."
Aku masih tergugu, menatap ke bawah tidak percaya. Sungguh dari sini nampak jelas sekali apa yang dilakukan oleh para santri. Meski yang terlihat hanya apa yang mereka lakukan bukan wajah mereka. Namun, itu sudah cukup membuatku rindu suasana di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM|| On Going
Horror"Kebahagiaan aku, ketika melihat kamu menderita." 👽👽👽 Siapa sangka, di hari bahagianya, di sanalah awal duka itu kembali. Kejadian di masa lalu ternyata belum bisa terlepas sempurna dari bayang-bayang kehidupan Rara. Kematian sang Nenek, kembali...