Prolog

834 60 6
                                    

"Lo, kenapa?"

"Nggak papa, gue ... baik-baik aja."

Kepalanya menggeleng, bibirnya tersenyum, tapi tidak dengan maniknya yang berembun. Mulutnya bisa berdusta, tapi matanya tidak.

"Lo tau? Berbohong ngga buat lo dapet pahala atau masuk surga."

"Tau lah! Gue bukan anak TK kali, hahaha."

Tawanya hambar, berusaha untuk mempertahankan nada suaranya agar tetap stabil, sesekali mendongak agar lapisan kaca di matanya tidak pecah.

"Nangis nggak buat lo keliatan lemah, nangis nggak buat lo dapet dosa, nangis juga nggak buat lo jadi jelek. Jadi, hal apa yang buat lo berpikir kalau nangis itu susah buat dilakuin?"

"Sialan lo!"

Pertahanannya hancur.

Isakan pilunya mulai terdengar, sangat lirih ... Lukanya sudah terlalu dalam.

Dan ia dipaksa untuk mengorek kembali bekas luka yang nyaris sembuh.

"Bisa beliin gue baygon nggak?"

Pemuda yang berdiri di hadapannya mengeryit bingung. "Buat apa?"

"Boba gue masih ada separuh, kalau gue campur baygon kayaknya nggak bakalan terlalu kerasa pahitnya baygon deh."

Decakan terdengar dari mulut sang pemuda, telunjuknya terulur guna menonyor kening gadis yang berbicara ngawur.

"Bisa berhenti, nggak? Gue benci liat lo."

"Jangan benci gue, kalau lo aja udah benci sama gue ... Apalagi yang bisa gue harapin di dunia ini?"

Pemuda itu melangkah mundur kala sang gadis mendekat guna masuk kedalam rengkuhannya.

"Berhenti di situ."

"Berhenti bohongin diri lo sendiri."

"Berhenti. Nggak capek jadi badut terus?"

Tubuh gadis bersurai coklat terang itu meluruh ke tanah, bahunya bergetar tanda ia sedang menangis. Sekuat mungkin ia menahan isakannya, sakit di hatinya tak kunjung memudar.

"Capek banget malah. Lo pikir gue mau kayak gini? Enggak! Gue benci diri gue sendiri, asal lo tau. Lo pikir gue begini buat apa? Buat bertahan hidup! Kalau nggak jadi badut, lo pikir gue bisa hidup sampai sekarang? Apa yang bisa gue lakuin selain buat orang lain bahagia? Nggak ada! Biarin gue aja yang menderita, gue cuma nggak mau orang lain juga ikut ngerasain luka. Biar gue aja. Seenggaknya gue tau kalau gue juga bisa berguna buat orang lain." Gadis itu berujar pelan, masih dalam posisi bersimpuh di tanah.

"Biarin gue aja, gue nggak papa walaupun begini sampai gue mati," lanjutnya lirih.

"Lo sadar nggak kalau lo egois? Lo bahkan nggak kasih kesempatan diri lo sendiri buat bahagia."

"KESEMPATAN ITU NGGAK ADA! GUE NGGAK PERNAH DAPET KESEMPATAN BUAT BAHAGIA. PUAS, LO?"

Ia bangkit, menatap sang pemuda dengan matanya yang memerah. Senyumnya terukir sinis.

"Harusnya sekarang gue yang bilang. Berhenti. Lo harus tau batasan lo," ujarnya nyaris seperti berbisik.

Gadis itu berbalik pergi, tapi telinganya mendengar kalimat terakhir sang pemuda sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu.

"Lo boleh bahagiain orang lain. Tapi, prioritasin kebahagiaan lo lebih dulu. Kalau lo aja nggak bisa bahagia, yakin lo bisa bahagiain orang lain? Diri lo sendiri dulu, baru orang lain."

"Prioritasin kebahagiaan lo sendiri nggak bikin lo jadi orang egois."

Kalimatnya terbawa angin.

Sia-sia.

***

AloOo ! Ketemu lagi sama dirikuu~
Gimana sama prolognya? Dapat gambaran apa aja setelah inii?
Fyi, ini storyku yang ke.. 1 2 3- em, 6 ! yang nanya soal storyku yang lain jangan di lapak ini yaa, bisa di wall atau di dm wp aja. anw, silahkan vote dan komentar bila suka.. silahkan pergi jika tidak suka, mudah kan?

—welcome to DENILA'S world—.

©KimTata884

DENILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang