BAB 2

77 15 18
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

Jika ada seseorang mengajukan sebuah tanya tentang apa yang tidak pernah padam, maka jawabannya adalah senyum seorang gadis bernama Cerise Dianes. Kedua sudut bibirnya senantiasa melengkung ke atas membentuk manis lekuk senyum. Orang-orang di sekitarnya sering kali merasa bingung, apakah Cerise pernah merasakan kesedihan?

Namun, apa yang ada di diri gadis itu adalah rahasia. Segala luka dan kesakitan yang dimiliki merupakan hal terlarang untuk ditunjukkan. Ia selalu berusaha memendam dan mengubur sangat dalam. Karena Cerise hanya ingin menjadi seseorang yang mampu membawa kebahagiaan, meski jauh di lubuk hati terdalam, ia juga kesakitan. Ia juga butuh orang lain untuk sekadar berbagai cerita luka.

Sayangnya, ia tidak memiliki kekuatan sebegitu besar untuk mengutarakan segala kesakitan. Sehingga lagi-lagi, Cerise memilih untuk kembali bungkam dan tersenyum di depan orang-orang. Lukanya adalah rahasia.

"Ceri, besok pagi kamu jangan terlambat, lho. Besok giliran kamu piket kelas."

Suara nyaring salah satu teman kelasnya membuat langkah Cerise di depan ruangan terhenti. Ia memutar tubuh dan mengacungkan kedua jari jempol. Seperti biasa, wajahnya berhias senyum. Kemudian sekonyong-konyong Cerise kembali berjalan meninggalkan ruang kelas dengan sedikit tergesa.

Tidak ada lagi kalimat yang mampu menahan perginya. Cerise selalu seperti itu. Tepat ketika bel pulang berbunyi beberapa detik, ia akan lebih dahulu meninggalkan kelas. Berjalan tergesa seakan takut tertinggal suatu hal. Padahal angkutan umum yang sering digunakan gadis itu selalu berjajar di depan gerbang hingga matahari hampir tenggelam dan sekolah benar-benar berubah menjadi sepi.

Jadi, tidak mungkin hal itu menjadi alasan seorang Cerise Dianes bergegas sebegitu cepatnya.

"Aduh, maaf!"

Mungkin karena terlalu terburu-buru, Cerise melakukan kesalahan dengan tidak sengaja menabrak seseorang hingga buku-buku di pelukannya jatuh berserakan. Ia berjongkok lalu mulai merapikan kembali. Usai rapi, Cerise mengembalikan buku itu ke pemiliknya.

"Maaf, ya. Aku enggak sengaja," ucapnya pelan, benar-benar merasa bersalah. Kemudian, ia mendongak menatap seseorang di depan lalu senyumnya mengembang. "Eh, Azure! Luka kamu sudah membaik, atau masih terasa sakit? Emangnya kamu kuat bawa tumpukan buku ini? Aku bantu aja, ya."

"Enggak usah. Tangan gue cuma kegores aspal, bukan patah tulang. Jadi, hal-hal kecil seperti ini masih sangat bisa gue lakukan sendiri." Azure bergerak mundur, mencoba menjaga agar jarak itu tetap ada.

Jawaban Azure terlalu dingin, sama seperti sorot dari kedua iris matanya. Namun, untungnya Cerise masih bisa memberi sedikit kehangatan lewat tatap dan senyum yang sampai ke mata. Ia mengangguk berkali-kali sebelum memutuskan untuk kembali melangkah, meski sebenernya Cerise masih ingin berbincang kecil dengan laki-laki tanpa ekspresi itu. Maka setelah mengucapkan kata maaf sekali lagi, ia memberikan satu plaster luka pada Azure.

"Nanti sore plasternya diganti, ya. Jangan lupa juga bersihkan lagi lukanya. Biar proses penyembuhannya cepat, Azure. Aku duluan. Dadah!"

Tanpa menunggu jawaban, Cerise benar-benar berlalu meninggalkan Azure yang menatap punggungnya hingga hilang dari jangkauan pandangan. Azure menunduk, memandang plaster berwarna biru di genggaman lalu meremasnya pelan. Ia mengambil keputusan sama dengan Cerise, kembali melangkah. Namun, tepat pada pijakan keempat, Azure berhenti dan melempar plaster tadi, tepat ke dalam tempat sampah.

REDA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang