BAB 5

42 9 9
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***
Awal bulan Oktober, langit kota Bandung masih setia menyajikan cerah. Bahkan kini panasnya hampir menyentuh angka tiga puluh derajat. Bulir keringat sudah berjatuhan sejak pelajaran olahraga dilaksanakan di tengah terik yang menyengat. Kemudian di antara keluhan siswa lain, Azure nampak tidak terganggu sama sekali.

Jam olahraga telah berakhir sejak sepuluh menit lalu, tetapi Azure tetap bertahan di bawah sorot matahari di tengah lapangan utama. Ia tak henti melakukan dribbling lalu mencetak gol sebanyak-banyaknya. Tidak ada lawan, laki-laki itu melakukannya seorang diri, penuh ambisi. Seakan amarah yang telah lama terpendam itu tersalurkan lewat gerakannya memantulkan bola.

"Gue tebak! Kalau lo masih mainin bola dalam lima menit ke depan, bolanya bakalan kempes dan imbalannya, lo harus pompa semua bola yang ada di ruang olahraga!"

Itu Reno. Seseorang yang tahu seberapa kelam hidup Magenta Azure. Orang asing yang pada akhirnya menjadi teman dekat Azure selepas setengah tahun menginjakkan kaki di SMA Nusa Pelita. Seseorang yang kemudian menjadi tempat berbagi resah kala dunia terasa sedang tidak baik-baik saja.

"Bahkan sekalipun gue disuruh ganti rugi sepuluh kali lipat, gue mampu."

Ada kesombongan dari kalimat yang Azure ucapkan hingga mampu membuat Reno tertawa kencang di tempatnya. Laki-laki yang tingginya setara dengan Azure itu berjalan semakin dekat lalu sekonyong-konyong merebut bola dari genggaman. Kemudian, seulas senyum sinis terbit di bibir Reno.

"Kalau lo lagi kesel sama manusia, lampiasin langsung ke orangnya, bukan ke bola, cemen!"

Kali ini, Azure yang terkekeh sebelum merebut kembali bolanya. "Kalau gue lampiasin langsung ke orangnya, lo harus siap gantiin gue di neraka, ya!"

Ada jeda yang merambat di antara mereka. Baik Azure maupun Reno tidak berniat memecahkannya. Dua laki-laki itu sama-sama membiarkan untuk kemudian memilih bertanding basket sembari mengisi jeda yang ada. Saat itu, semesta sedikit berbaik hati dengan mengiring awan menutupi sinar mentari. Memberi napas pada kulit yang seakan telah terbakar.

Namun rasanya, sengatan matahari di atas sana masih terasa kalah oleh panas yang membakar hati Azure kala mengingat kembali percakapan dengan Papa semalam. Azure mencengkram bolanya kuat-kuat untuk selanjutnya dibanting dengan tenaga penuh.

"Ada masalah lagi sama bokap?"

Bahkan tanpa diberi tahu, Reno sudah dapat menebak.

"Sejak kapan gue bisa damai?" Azure balik bertanya pada Reno.

"Masalah apa lagi sekarang? Gue heran, deh. Perasaan ... lo udah ngasih yang terbaik. Dapatin peringkat dua pararel itu bukan hal yang mudah, lho. Apalagi lo cowok, jarang banget! Biasanya cewek terus yang ngisi peringkat terbaik! Terus dia nuntut lo biar kayak gimana lagi?"

Azure menghela napas dalam lalu mengembuskan perlahan sambil tetap menggiring bola. "Dia tahu kalau sebentar lagi bakalan ada olimpiade matematika dan lo pasti tahu apa yang terjadi, kan? Dia ngambis banget pengen gue yang kepilih buat maju. Sementara gue sadar, buat ngalahin itu cewek sialan, susahnya bikin pengen banting lo, Ren!"

Meski berbincang sembari bermain bola, baik Azure maupun Reno benar-benar menyimak saat salah satu di antara mereka tengah berbicara. Kemudian ketika Azure mengatakan kalimat itu, Reno seakan bisa merasakan bagaimana resah di dada sahabatnya. Bagaimana tangan-tangan tak kasat mata seakan mencengkram kuat kepalanya.

REDA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang