BAB 21

11 3 1
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

Akhir-akhir ini, detik yang berlalu entah mengapa terasa sangat lambat. Tidak tahu sejak kapan ia juga merasa jika dinding-dinding yang menyusun rumah rapuhnya menjadi sekokoh itu. Padahal awalnya ia mengira hanya dengan satu kali pukulan saja batu bata itu akan jatuh.

Dan dalam kelam bangunan itu, Cerise meringkuk ketakutan di sudut kamar. Kedua kantung matanya telah sempurna menghitam, rambut sebahunya terlihat berantakan, tetapi tidak lebih berantakan dari jiwanya sekarang. Gadis itu sedari tadi bergerak gelisah sambil sesekali mendongak hanya untuk menatap atap tanpa warna di sana, lalu setetes tangis jatuh kala kelopak itu mengerjap pelan.

Ada luka dari iris redup itu. Luka yang pada akhirnya gagal untuk ia sembunyikan. Kali ini saja, Cerise ingin berteriak kencang meminta pertolongan. Ia ingin mengaku pada semesta bahwa jiwanya terluka. Ia ingin mengakui jika selama ini, cerianya hanya tipuan semata. Dan kini, Cerise membutuhkan dekap hangat dari seseorang. Sebab dingin yang menguar di setiap ruangan kini terasa kian membekukan.

"Tuhan, Cerise capek," rintihnya begitu tertahan. Ia merasa ada banyak simpul yang mengikat dadanya dan entah sejak kapan untuk bernapas pun terasa sangat menyakitkan. "Cerise capek, Tuhan. Cerise mau pulang ...."

Ia ingin sekali saja Tuhan dan semesta mendengar pintanya. Ia ingin sekali aja takdir berpihak padanya. Karena ternyata, Cerise juga manusia biasa yang sewaktu-waktu bisa merasa lelah. Bisa merasa ingin menyerah sebab pisau-pisau itu datang dan menikamnya dari berbagai arah tanpa memberi celah. Cerise harus apa?

Menit berganti, Cerise berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju cermin besar di sebelah kanan. Dari tempatnya berdiri, Cerise bisa melihat bagaimana kaca itu memantulkan bayangannya. Cerise di sana luka dengan tubuh hampir sempurna lebam. Bahkan kini, pedih yang berasal dari bahu telah menjalar hingga dadanya.

Cerise tak tahan. Jika tak ada siapa pun yang bisa menyelamatkannya, maka Cerise harus bisa menolong dirinya sendiri. Ia tak boleh terus-menerus membiarkan tubuh ringkihnya kian banyak goresan menyakitkan. Kemudian, tanpa berpikir panjang ia memilih melangkah keluar. Berderap cepat hingga sampai di dekat pintu depan. 

"Kamu mau lari dari saya?" Suara berat itu terdengar pelan, tanpa bentakan, tetapi sarat akan sebuah ancaman. Tubuh Cerise menegang. "Kamu mau lari dari saya?" Papa kembali mengulang pertanyaan.

Kemudian, Papa berdecih sembari menjatuhkan rokok yang sedari tadi dihisap, lalu diinjak. Bibir Papa tersenyum, tetapi entah mengapa senyumnya begitu menakutkan. Rasanya kaki-kaki Cerise kian bergetar.

"Kenapa baru sekarang kamu mau lari? Kenapa baru sekarang, setelah saya sadar bahwa tubuh kamu begitu indah untuk dipandang?" Papa berjalan mendekati Cerise. Tangannya terulur untuk menyentuh rahang Cerise, perlahan. Di tempatnya berdiri, Cerise mendesis, lalu menepis kasar tangan dari seseorang yang begitu ia junjung kehormatannya. Papa tertawa lebar. "Ternyata sekarang kamu sudah berani melawan, ya?"

Tangan besar Papa terangkat. Cerise kira ia akan kembali menerima pukulan, tetapi ketika kelopaknya membuka, yang ia rasakan justru sentuhan lembut tangan Papa di kepalanya. Untuk sesaat, Cerise merasa tenang hingga akhirnya tersentak kala elusan itu berubah menjadi tarikan pada rambutnya. Ia meringis, merasakan ngilu luar biasa di sana.

Di menit itu keberaniannya terkumpul. Cerise menatap Papa dan berujar, "Papa mau apa lagi dari Cerise? Setelah Papa bikin Cerise luka. Setelah Papa bikin Cerise ngerasa jadi manusia paling kotor di dunia, Papa mau apa lagi? Cerise capek, Pa! Cerise—"

Kalimatnya terpotong sebab setelah itu tamparan kencang mendarat di pipi hingga mampu membuat Cerise terjatuh. Ia tidak menghindar ketika tamparan kedua kembali dilepaskan. Gadis itu hanya diam dengan mulut yang terkunci rapat. Ia bungkam.

"Kenapa? Kamu tidak terima diperlakukan seperti ini? Seharusnya kamu sadar jika hanya ini yang pantas untuk kamu terima, Cerise! Ini balasan dari saya untuk ibumu! Untuk keluarga ibumu! Untuk semua orang yang telah merenggut kebahagiaan saya! Saya terluka bahkan lebih daripada ini!"

Lantas mengapa harus Cerise seorang diri yang menerima imbasnya?

"Tapi Papa enggak harus lakukan hal seperti ini. Cerise janji bakalan berusaha sekuat mungkin buat sembuhin luka Papa, tapi tolong, Pa, cukup ... Cerise sakit."

"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan jika dengan melihat kamu saja, kesakitan itu kembali saya rasakan?" Ada jeda beberapa detik sebelum Papa melanjutkan. "Jika kamu ingin membantu agar luka itu sembuh, berarti kamu harus mati!"

Ragu, iris sendu itu menatap tajam mata Papa. Berusaha mencari sedikit aja pengampunan, tetapi yang ia temukan hanya kelam penuh kehampaan. Hanya merah, sebab iris itu telah dibakar habis oleh amarah.

Cerise merasa rongga dadanya semakin menghimpit, sakit. Cerise sudah sering mendengar segala kalimat menyakitkan Papa dan ia pikir seiring waktu berjalan, Cerise akan terbiasa. Namun, nyatanya ia tetap merasakan kesakitan. Ia hilang harapan ketika tahu bahwa satu-satunya keluarga yang ia miliki justru menginginkannya mati.

Menit kembali berganti. Di luar sana, awan hitam mulai menghiasi. Kemudian, bersamaan dengan tangis Cerise yang jatuh, hujan di sana juga luruh. Seakan saat itu semesta juga merasakan kesakitan yang sama. Semesta juga terluka melihatnya tak berdaya.

"Apa tidak ada sedikit pun rasa iba di hati Papa?" Suara Cerise terdengar pelan seperti bisikan, tetapi kalimat selanjutnya Cerise lepas kendali dengan meninggikan suaranya. "Apa tidak ada sedikit pun niat agar Papa mau mencoba memandang aku sebagai anak yang lahir dari rahim seseorang yang sempat Papa cinta? Aku ini darah daging Papa!"

Siapa sangka jika ucapan Cerise sanggup membuat tubuh Papa gemetar. Namun, bukannya sadar, justru Papa kian terbakar. Pria itu berjalan mendekati meja, lalu melempar barang-barang yang ada. Hingga salah satunya jatuh dan mengenai kepala Cerise.

Di detik yang sama, darah segar mengalir di sana. Kemudian, suasana yang sempat gaduh berubah menjadi hening mencekam. Cerise bisa lihat bagaimana tangan Papa bergetar hebat. Mulut pria itu berbuka—mungkin tak percaya dengan apa yang baru saja dirinya lakukan.

Kini semua sudah lengkap. Rasa sakit itu bertubi-tubi menghantam tubuhnya.

Dan di antara rasa sakit itu, Cerise masih bisa merekahkan senyuman. Manik sendu itu menatap lekat Papa berusaha untuk sekali lagi meyakinkan bahwa sebanyak apa pun luka yang Cerise terima, Papa tetap akan menjadi sosok yang paling berharga dalam hidupnya. Sampai kapan pun bahkan ketika Cerise tak mampu lagi menarik napas seperti sekarang.

"Sampai kapan pun, aku sayang Papa."

Di akhir kalimatnya, Cerise terpejam, damai. Ia tidak lagi merasakan sakit apa-apa. Karena yang ia lihat sekarang hanya gelap, lalu perlahan tangannya seperti ditarik oleh suatu hal. Hal yang begitu menenangkannya. Dan di detik itu, Cerise benar-benar memilih sudah, menyerah.

Jiwanya benar-benar lelah.

Sementara itu, Papa bergegas meraih jaket tebal lalu mengenakannya. Sebelum akhirnya memilih membuka pintu dan membiarkan Cerise terluka sendirian. Langkahnya tegap, seakan tak ada sedikit pun keraguan dari apa yang dirinya lakukan. Karena seiring dengan pintu yang ditutup rapat, Papa tak berniat untuk masuk kembali ke dalam sana.

***

Alhamdulillah.
Terima kasih sudah baca.
Sukses selalu, orang hebat.
Salam hangat,

Sugi ✨✨

November 8, 2021 — 1080 kata

REDA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang