Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Waktu tepat menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan di saat itu, Cerise masih harus berjalan melewati beberapa belokan hingga akhirnya sampai di depan sebuah bangunan-rumahnya. Gadis itu merapatkan jaket, mencoba menghalau udara dingin yang terus-menerus membelai tubuhnya. Ia berdecak pelan lalu semakin memperlebar langkah sebab hujan perlahan luruh dan jatuh.
Kemudian tepat setelah melewati satu belokan terakhir, Cerise sampai di depan rumah bercat hijau dengan halaman yang tidak terlalu luas. Sebelum meraih knop pintu, gadis itu berbisik lirih menyampaikan harapan, semoga kali ini di dalam rumah tidak ada siapa-siapa. Namun, Dewi Fortuna memang tak pernah memihak padanya. Ketika Cerise membuka pintu, yang dilihat pertama kali adalah ruangan gelap lalu berubah menjadi terang selepas terdengar saklar lampu ditekan.
"Habis kelayapan dari mana kamu?"
Bahkan Cerise baru menginjakkan kaki di lantai keramik rumah, tetapi ucapan Papa berhasil menyentaknya. Terlebih iris Papa yang mulai memerah, menandakan bahwa laki-laki itu tengah menahan amarah. Cerise mengiris pelan lalu mendekati Papa, berniat untuk mencium punggung tangan itu. Namun, langkahnya kembali tertahan kala kalimat berikutnya terdengar kian tajam.
"Sudah jadi jalang kamu?"
"Pa-"
"Mau ikutin jejak ibumu yang sialan itu, hah?" Tatapan Papa semakin kelam. Kemudian, sebelum melanjutkan ucapan, suara bantingan gelas menjadi pengisi dari jeda yang ada. "Dapat berapa kamu hari ini? Berapa banyak laki-laki di luar sana yang sudah berhasil kamu goda?"
Tepat setelah Papa mengakhiri kalimatnya, Cerise bisa mendengar dengan jelas bagaimana hatinya perlahan retak lalu patah. Ia mendongak hanya untuk melihat kilat mata Papa semakin tajam. Amarah laki-laki itu sudah timbul ke permukaan dan Cerise sangat paham, jika tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain diam, menerima segala bentuk makian.
Karena Cerise memang tidak pernah mempunyai tempat untuk berucap di depan Papa. Cerise tak pernah mempunyai ruang untuk sekadar menjelaskan tentang kejadian sebenarnya, atau untuk membela diri dari tuduhan Papa. Suaranya tidak akan pernah didengar dan hanya membuat Papa semakin naik pitam.
"Kenapa enggak ada makanan di rumah? Kamu mau membiarkan laki-laki ini kelaparan? Kamu mau lihat laki-laki ini mati?" Papa menunjuk dirinya sendiri. Garis-garis wajahnya mengeras dengan urat-urat yang terlihat muncul ke permukaan.
"Maaf, Pa, tadi waktu pulang sekolah, Ceri dipanggil ke ruang guru buat ngomongin tentang olimpiade. Jadi setelah pulang sekolah, Ceri langsung ke tempat kerja, Pa, karena sudah terlambat."
Papa mendengkus lalu menarik kasar tangan Cerise. "Olimpiade katamu? Untuk apa kamu mengikuti kegiatan tidak berguna itu? Semua akan sia-sia karena kamu tidak akan pernah melanjutkan ke jenjang kuliah, Cerise! Bahkan jika perlu, mulai besok berhenti sekolah! Cari duit sebanyak-banyaknya, Papa bosen hidup susah!"
Detik merambat, hujan di luar sana semakin deras, meredam segala bentakan Papa agar orang-orang di sekitar tidak perlu mendengar. Agar orang-orang tidak perlu tahu seberapa hancur seorang Cerise Dianes sekarang. Dan selaras dengan luka di dada, ia merasakan perih ketika tangannya dientak kencang. Kemudian kedua lutut Cerise berakhir mencium dinginnya lantai.
Rasanya menyakitkan, tetapi tidak lebih sakit dibanding hatinya. Kemudian pandangan gadis itu sedikit buram karena bulir bening mulai menumpuk di pelupuk. Namun sekuat mungkin, Cerise menahan agar tidak jatuh. Karena selain membenci hadirnya, Papa juga benci melihat Cerise meneteskan tangisan.
"Cerise janji bakalan cari uang yang banyak buat kita, Pa. Biar kita enggak jadi orang susah lagi. Cerise janji," ucap Cerise sedikit bergetar. Ia meremas jari-jari tangannya sendiri.