EPILOG

17 3 1
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

Sore Cerise Dianes tak pernah terasa damai seperti sekarang. Di dalam dingin sebuah ruang, ia menoleh ke segala arah sebelum akhirnya berjalan mendekati bayang seseorang yang melambai ringan ke arahnya. Cerise sempat memilih diam ketika semakin dirinya mendekat, bayang itu justru terasa kian membentangkan jarak. Ia kepayahan, tetapi masih ingin bertahan.

Cerise tak tahu apakah keputusan sekarang adalah benar, atau justru sebaliknya. Sebab di setiap langkah yang ia pijak, pecahan kaca bertebaran, lalu satu per satu menancap tepat pada telapak kakinya. Namun, aneh, Cerise tak merasa kesakitan. Bahkan Cerise terlihat menikmati setiap goresan panjang di kakinya.

Kemudian, bayang itu hilang di dalam sebuah ruang. Cerise berusaha menggapai daun pintu lalu mendorongnya pelan. Detik jarum jam berputar, Cerise terpaku menatap ramai di sana.

"Siapa Cerise Dianes?"

"Dia Diana! Saya sengaja mengubah namanya agar orang-orang bajingan seperti kamu tidak dapat mengenalinya. Saya menjadikan dia sebagai tempat pelampiasan dari segala dendam yang saya pendam. Dari segala kesakitan yang kalian torehkan pada saya!"

Cerise menutup mulutnya. Ia tak tahu apa yang Tante Anita dan Papa bicarakan. Mengapa Tante Anita mempertanyakan dirinya? Mengapa Papa mengatakan bahwa Cerise adalah Diana? Kalimat tanya itu bergelayut dalam benak Cerise. Membuat gadis itu memilih kian mendekat dan berdiri di antara Tante Anita juga Papa.

"Apa yang kamu lakukan pada dia, Rizal? Kenapa kamu melampiaskan pada seseorang yang jelas tidak pernah bersalah? Kamu gila!"

"Saya memang sudah gila semenjak keluarga kamu menghancurkan saya," ucapnya pelan penuh kepedihan. Di detik itu yang terdengar hanya deru napas yang berantakan juga isakan kencang Anita. "Kamu mau tahu apa yang sudah saya lakukan padanya? Saya sudah memakinya setiap hari. Saya sudah mencambuknya berulang kali. Saya sudah memakainya dan—"

Menit itu, Cerise dapat melihat bagaimana Anita menerjang tubuh Papa. Menampar berulang kali sebelum akhirnya tubuh ringkih itu ditarik paksa. Cerise bungkam. Kedua matanya sempurna kelam. Kemudian dengan begitu saja tangisnya luruh. Ia berteriak begitu kencang.

"Maksud Papa sama Tante Anita apa? Aku ini siapa? Apa yang kalian bicarakan?"

Namun, bukannya mendapat jawaban, Cerise justru merasa mual. Gadis itu mengeluarkan banyak darah dari dalam mulutnya. Sampai kemudian, ruangan itu tiba-tiba berganti. Yang ia lihat adalah bagaimana frustasi wajah Leni. Bagaimana kesakitan tampak nyata dari sorot Magenta Azure. Juga ... bagaimana lemah pada tubuh Reno.

"Kalian semua kenapa?"

Sayang, lagi-lagi suaranya tidak didengar. Cerise marah. Ia berusaha menggapai dan menggerakkan tangan Leni, tetapi tidak bisa. Leni tak bisa dirinya jamah. Menit itu, Cerise meraung kencang. Ia duduk di sudut ruang sambil meringkuk ketakutan.

"Kenapa aku enggak bisa sentuh orang-orang? Kenapa suara aku enggak bisa didengar?"

Mata Cerise memejam kala tiba-tiba saja rasa sakit menyerang kepala. Ia merintih tertahan, lalu tubuhnya seakan ditarik paksa. Kali ini, ia tak tahu berada di tempat mana. Semua terlalu asing. Bahkan orang-orang yang tengah berbincang itu tak Cerise kenali.

"Kita kasih dia nama Diana. Dia cantik banget, ya?"

Cerise menoleh saat pintu di seberang sana dibanting kencang, lalu seorang pria berjalan tergesa dan merebut bayi dalam gendongan wanita itu. Dalam diamnya, Cerise mengamati wajah itu lekat. Sampai akhirnya ia menyadari satu hal : pria itu adalah Papa.

Langkah Cerise cepat mengikuti ke mana kaki Papa melangkah. Ia diam tanpa suara, tetapi dalam diamnya, Cerise merasa luka begitu saja.

"Kamu akan hidup dengan Papa di sini. Nama kamu sekarang adalah Cerise Dianes. Cerise yang berarti jingga. Jingga yang indah, sama seperti ibumu, Anita."

Mata Cerise membelalak. Ia tak percaya mendengar segala kalimat yang mampu membuatnya terenyak. Air mata Cerise telah tumpah sedari tadi. Kaki-kakinya gemetar.

"Jadi, Mama Azure adalah mama aku juga, Pa?"

Sama seperti pertanyaan sebelumnya. Kalimat Cerise hanya menguap di udara tanpa pernah sampai ke pendengaran Papa. Sekarang, Cerise paham tentang segalanya. Tentang hal yang pada akhirnya hanya akan melukainya semakin dalam.

Maka dengan begitu saja, Cerise memilih menyerah. Ia membiarkan tubuhnya semakin lama semakin hilang. Iris sayu itu sempat menatap lekat wajah Anita untuk beberapa saat sebelum bayang putih menutup seluruh tubuhnya.

Dan, Cerise Dianes hilang.

Ia menyerah pada semesta yang berhasil mempermainkannya.

Cerise mengaku kalah.

***

Alhamdulillah.
Terima kasih sudah baca.
Sukses selalu, orang hebat.
Salam hangat,

Sugi ✨✨

REDA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang