Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Dingin menguar ketika Cerise pertama kali menginjakkan kaki di lantai keramik putih itu. Hangat sapaan yang ia dambakan setiap kali pulang adalah sebuah semu yang tak akan pernah menjadi nyata. Karena nyatanya, hanya bentakan nyaring Papa menjadi sambutan untuknya. Cerise bahkan belum membuka mulut dan berujar sesuatu, tetapi mulutnya telah dibuat bungkam saat satu botol kaca di lempar tepat ke samping tubuhnya.Detik itu pula, pecahan kaca berserakan. Cerise memejamkan matanya sejenak untuk kembali membuka dan menatap tepat mata Papa yang memerah. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Senyum yang sampai kapan pun akan selalu dirinya tunjukkan pada orang-orang. Tidak peduli jika di waktu bersamaan, hatinya terluka, parah. Karena tidak tahu mengapa, kala senyumnya mengembang, Cerise merasa perasaannya perlahan meringan dan membaik.
"Selamat sore, Papa," katanya dengan nada ceria, mengabaikan nyalang sorot mata Papa. Gadis itu berjongkok, mulai memunguti satu per satu pecahan kaca.
"Kamu itu persis seperti ibumu, ya. Tidak punya malu! Kenapa kamu masih berani menampakkan diri di hadapan saya? Kurang jelas ucapan saya kemarin, jika saya tidak ingin melihat wajah kamu lagi? Telinga kamu berfungsi tidak?"
Cerise diam, tetapi pandangannya tidak lepas dari wajah Papa. Ia menatap lamat dan merekam dengan jelas bagaimana kilat mata itu menyorotnya penuh kebencian. Merekam dengan jelas setiap nyaring suara Papa kala berbicara dengannya. Kemudian, bibir gadis itu bergetar memaksakan seulas senyuman. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja. Bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari keadaannya sekarang.
Iya, asal masih bisa mendengar suara Papa, Cerise akan tetap baik-baik saja. Cerise akan memendam segala sakit yang terkadang berhasil membuat tubuhnya seakan hilang keseimbangan. Karena bagi Cerise, perlakuan Papa sekarang tetap tak bisa mengubah pandangannya terhadap Papa. Sosok hebat dengan hati baik yang telah membesarkan dan merawat dirinya hingga sekarang.
"Kalau ucapan kemarin kurang jelas, saya akan tegaskan sekali lagi." Otot-otot leher Papa terlihat mencuat, menandakan bahwa pria itu benar-benar kehilangan kontrol akan dirinya sendiri. "Saya tidak sudi lagi melihat wajah kamu, Cerise!" teriaknya tepat di telinga kanan Cerise, keras. Sampai Cerise merasa telinganya berdengung hebat.
Namun sepertinya, amarah Papa tidak sampai di sana. Pria itu mengambil satu botol kaca lalu memukulkan pada dinding di belakang Cerise. Terlalu memekakan, Cerise hampir berjongkok dan menutup telinga, tetapi urung ketika Papa mencengkram kuat tangannya. Rasanya sakit, tetapi tidak lebih sakit dibanding mendengar pengakuan seseorang bahwa hadirnya benar-benar tidak diinginkan. Terlebih seseorang itu adalah papa kandungnya.
"Kamu mau tutup telinga, hah? Tidak sopan! Saya sedang berbicara dengan kamu, Cerise!"
Cerise ingin berbicara, tetapi ia tahu bahwa hal itu adalah percuma. Setiap kata yang nantinya keluar hanya akan semakin memicu amarah Papa. Pada akhirnya, Cerise kembali diam. Menerima dengan lapang segala perlakuan kasar Papa padanya tanpa pernah meminta kesempatan untuk membela diri sendiri.
"Untuk apa kamu di sini jika uang saja tidak punya? Kamu hanya menambah beban saya! Saya capek! Semakin besar, seharusnya kamu bisa menghasilkan banyak uang, Cerise! Kamu harus membayar segala lelah saya saat merawat kamu seorang diri! Kamu harus membayar itu semua! Keringat saya, letih saya, kamu harus bayar."
Detik itu, Cerise kehilangan tenangnya. Tubuh ringkihnya bergetar, menahan amarah yang tiba-tiba saja hampir muncul ke permukaan. Ia memejamkan mata satu detik hanya untuk kembali menatap iris Papa. Cerise berharap bahwa apa yang dikatakan Papa tidak sungguhan, tetapi merah di sekitar pupil milik Papa seakan menegaskan jika tak ada sedikitpun keraguan dari ucapan.
Jika seperti ini, kenapa semesta mengizinkan Cerise untuk tetap hidup? Mengapa semesta membiarkan Cerise tumbuh dan menjadi beban dari seorang pria yang begitu terluka akan hadirnya? Seharusnya dari awal, Cerise tak pernah ada di dunia agar Papa tidak perlu lelah merawatnya.
"Di saat Papa punya pilihan untuk bunuh aku ketika kecil, kenapa Papa pilih untuk rawat dan besarkan aku, Pa?" Itu kali pertama Cerise berujar. "Kenapa Papa enggak biarin aku mati sejak bayi, Pa?"
"Kamu ingin tahu alasannya? Karena hanya dengan cara ini saya bisa membalas sakit hati saya pada ibu kamu! Saya merasa bisa membalas sakit hati saya ketika kamu kesakitan, Cerise!"
Ada jeda yang merambat. Hanya detak jantung dan tarikan napas yang terdengar di dalam ruangan. Pada saat seperti ini, Cerise merasa dunianya benar-benar hancur sekarang. Ia tidak tahu harus menopang tubuhnya dengan apa. Maka detik berganti, tubuh Cerise jatuh begitu saja. Terkulai lemah di bawah tegap kaki Papa. Ia beringsut lalu memeluk kaki-kaki itu dengan erat.
"Keluarga ibumu tidak pernah menghargai saya. Mereka memperlakukan saya seakan binatang, Cerise. Kehadiran saya di sana sebagai suami ibumu tidak pernah dianggap hanya karena saya berasal dari keluarga berekonomi rendah. Saya terluka. Kemudian setelah kamu lahir, saya pergi dengan membawa kamu. Dengan dendam yang sampai kapan pun tidak akan pernah hilang."
Untuk pertama kalinya, Cerise bisa melihat bagaimana sorot mata Papa terlihat terluka. Bagaimana setiap kalimat yang pria itu ucapkan terasa sangat menyayat perasaan. Nadanya rendah, tetapi mampu menusuk hati Cerise begitu dalam. Ia seakan ikut merasakan kesakitan Papa.
"Adanya kamu, saya jadi tahu bahwa ada cara lain untuk menyalurkan dendam dan kesakitan dengan menyakiti kamu, Cerise."
"Kalau dengan bikin aku sakit, perasaan Papa bisa membaik, jangan pernah berhenti, Pa. Cerise rela luka asal Papa baik-baik saja."
Getir menyakitkan dari ucapan yang terlontar itu tak mampu untuk disembunyikan. Tangis Cerise diam-diam jatuh kala Papa menarik tubuhnya kasar dan melemparnya ke atas kursi. Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Namun dari posisinya sekarang, Cerise bisa mendengar suara sabuk yang ditarik dengan tergesa. Gemerincingnya mampu membuat Cerise kian ketakutan.
Dan di detik yang sama, Cerise rasakan sabuk itu menyambar cepat bahunya. Mencambuknya berkali-kali di atas luka yang kemarin dirinya dapati. Rasanya benar-benar menyakitkan. Tubuh Cerise seakan hancur secara perlahan. Gadis itu tergugu pilu. Batinnya menjerit kesakitan dan di saat bersamaan, hati Cerise diremas pelan, perih.
Cerise pikir setelah cambukan keenam, Papa akan berhenti. Namun ternyata, pria itu masih belum ingin berhenti. Ia berderap ke arah dapur untuk membawa sebuah wadah besar. Kemudian, botol-botol berisi minuman alkohol itu ia tuangkan ke dalam sana. Usai itu, ia kembali menjambak rambut Cerise, dan memposisikan kepalanya ke dalam wadah itu. Tidak sampai menyentuh permukaan air, tetapi Papa menahan dengan telapak kakinya agar Cerise tidak mampu mengangkat kepala dan mengambil jarak.
Cerise memejamkan mata, rapat.
Tuhan, Cerise capek! Cerise sakit! Cerise mau pulang ....
Tangisnya benar-benar jatuh. Cerise ingin bersembunyi dan meminta pertolongan, tetapi yang dirinya dapati adalah kekosongan yang perlahan kian menghancurkannya. Yang ia dapati hanya kelam yang menenggelamkan jiwanya.
Cerise harus pergi ke mana, jika satu-satunya tempat yang ia tuju adalah sesuatu yang justru menjadi sumber dari segala luka dan kesakitan? Cerise tak harus harus melakukan apa selain tabah dan menerima. Karena untuk berontak, ia tak akan pernah mampu. Maka dengan begitu saja, Cerise merasa bahwa diam adalah sebaik-baiknya keputusan.
***
Alhamdulillah.
Terima kasih sudah baca.
Sukses selalu, orang hebat.
Salam hangat,Sugi ✨✨
November 6, 2021 — 1109 kata