Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Sepertinya semesta bisa dengan mudah mengubah suatu hal. Contohnya, tadi siang biru di atas sana masih membentang. Menyajikan indah dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik. Namun, tepat ketika waktu beranjak sore, cakrawala berubah menjadi kelam. Kemudian, kilat terlihat saling menyambar meski hujan belum kunjung datang.
Suasana sekolah SMA Nusa Pelita saat itu tampak lebih sepi sebab dua jam yang lalu bel tanda berakhirnya pelajaran telah dibunyikan. Sebagian besar siswa memilih lekas pulang, tetapi Cerise masih berada di depan gerbang. Gadis itu berdiri dengan resah menanti angkutan umum yang bisa ditumpangi olehnya.
Sayang, selepas hampir lima belas menit, yang ditunggu-tunggu olehnya tak kunjung datang. Sekali lagi, Cerise mencoba bersabar dan kembali duduk di kursi panjang dekat pos satpam. Namun setelah itu, Cerise memilih bangkit dan berjalan tergesa meninggalkan bangunan sekolah. Ia tidak bisa menunggu lebih lama karena harus cepat-cepat sampai di rumah.
Dan di saat bersamaan, hujan turun begitu deras tanpa pernah Cerise duga bahwa datangnya sangat tiba-tiba. Ia mendesah lelah. Baju seragam yang dirinya kenakan telah basah. Ia memejamkan mata, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya percuma jika mencari tempat berteduh ketika ia telah basah kuyup.
"Langit, coba, deh! Sesekali enggak usah dengerin orang lain yang minta hujan turun sekaligus petir! Cerise capek setiap pulang sekolah harus nyuci baju terus. Baju seragam Cerise itu cuma ada dua. Kalau sekarang basah, besok pakai apa? Karung?"
Ia berteriak di bawah terang cahaya petir menyambar. Dadanya naik turun seiring dengan tarikan napas yang terasa menyesakkan. Namun setelah itu, Cerise tertawa kencang. Sampul-sampul yang semula mengikat hatinya perlahan meregang, lalu hilang. Untuk beberapa saat, Cerise merasa bebas.
Bagi Cerise, dingin dari pelukan hujan selalu berhasil meredam segala gemuruh menyakitkan. Ia berjalan riang, menikmati setiap detik yang berlalu tanpa mengucapkan kalimat apa pun lagi. Bibirnya bungkam, tetapi hati kecilnya tak henti memohon agar kali ini saja Papa tak ada di rumah. Cerise sedang lelah. Ia belum siap jika harus tiba di rumah dengan disambut amarah.
"Adanya kamu, saya jadi tahu bahwa ada cara lain untuk menyalurkan dendam dan kesakitan dengan menyakiti kamu, Cerise."
Tiba-tiba saja perkataan Papa kembali terlintas. Entah mengapa ketika mengingatnya, Cerise merasakan luka yang sama. Luka yang dibalut oleh perasaan kecewa. Pada akhirnya, selepas bertahun-tahun menyimpan pertanyaan tentang mengapa Papa membiarkan hidup, Cerise mendapat jawaban. Bahwa ternyata, ia hadir hanya untuk pelampiasan segala dendam dan kesakitan.
Ia merunduk, menatap sepatu hitam yang kini mulai memberat sebab air berada di dalamnya. Kemudian setelah itu, Cerise mendesah resah. Semesta, apakah sekarang Cerise boleh menyerah? Apakah kini waktu yang tepat untuk menghilang? Karena mengetahui jika hadirnya hanya sebagai alat balas dendam, Cerise terluka, dalam.
"Telinga lo itu berfungsi enggak, sih?"
Detik itu Cerise tersentak. Ia menoleh ke arah suara itu berasal. Lantas dengan begitu saja, kerutan di dahinya muncul.
"Dari tadi gue bunyiin klakson, lo enggak denger?" tanya Azure yang entah sejak kapan berada di dekatnya. Padahal Cerise merasa sedari tadi ia hanya seorang diri. "Besok-besok periksa telinga lo! Buruan naik."
Sampai di kalimat terakhir Azure, Cerise masih tidak mengerti. Ia menggaruk tengkuk lalu meringis kecil.
"Aku bener-bener enggak tahu kalau kamu bunyiin klakson. Lagi pula ini kan, di jalan. Aku pikir, ya, dari kendaraan lain yang enggak sabar sama padatnya jalanan," katanya dan diakhiri dengan cengiran lebar. "Ah, tadi kamu ngomong apa? Naik?"