Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Badai yang terjadi semalam, tak lantas membuat senyum di wajah Cerise sirna. Gadis cantik dengan rambut legam itu kembali menampilkan senyum terbaik pada pagi harinya. Seakan luka yang didapat malam itu hanya sebuah ilusi semata. Seakan bentakan juga makian Papa tidak pernah ia terima. Padahal di dalam sana, luka Cerise menganga dan penuh darah.
Seperti langit malam yang beranjak pagi, kelam di atas sana ikut berganti warna. Maka, saat itu Cerise akan kembali menjadi penuh warna. Tidak peduli sedalam apa luka yang didapat semalam. Tidak peduli pada makian Papa yang berhasil memukul telak relung hatinya, Cerise harus tetap bersikap seakan semua baik-baik saja. Lukanya adalah rahasia.
Ia baru bisa masuk ke dalam rumah ketika pagi menyapa, melalui jendela yang terbuka. Berjalan mengendap-endap, berusaha tidak menimbulkan bising yang mengusik Papa. Sebab seperti hari-hari sebelumnya, Papa selalu tidur di atas kursi ditemani botol-botol minuman yang isinya telah tandas. Ia terpaku sejenak menatap lekat damai wajah laki-laki itu kala terlelap.
Kemudian di antara sela-sela padatnya aktivitas sebelum berangkat sekolah, Cerise meraih buku catatan lalu menuliskan sesuatu di sana—hal yang seharusnya sudah dilakukan semalam. Lantas setelah itu, ia bergegas keluar rumah, melewati beberapa belokan hingga akhirnya sampai di ujung jalan, menanti angkutan kota yang akan membawanya ke sekolah.
"Pak, SMA Nusa Pelita, ya," ujar Cerise sebelum menaiki kendaraan umum roda empat itu.
"Siap! Lima ribunya disiapkan, ya, Neng," timpal sopir, lalu tertawa kecil.
"Diskon lima puluh persen, ya, Pak? Kan, saya sudah langganan."
Bapak sopir menggeleng cepat. "Memangnya ini pasar swalayan, Neng."
Maka setelah itu, tawa Cerise melebur di antara bisingnya perjalanan. Ditemani senandung lagu dari pengamen jalanan yang menumpang di dalam kendaraan, pagi Cerise terasa hangat. Ia tidak berhenti tersenyum, sambil sesekali mengikuti alunan yang liriknya benar-benar mampu membuat candu.
Hingga tiga puluh menit lamanya perjalanan, kendaraan umum itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah Cerise. Gadis itu beranjak selepas membayar dengan satu lembar uang lima ribuan. Hendak melangkah memasuki halaman sekolah, tetapi suara sopir yang mengalun memasuki gendang telinga terasa mengiris hatinya.
"Terima kasih, Neng. Bahagia terus, ya."
Cerise terpaku. Lidahnya terlalu kelu hingga tak mampu menjawab kalimat itu sampai roda-roda kendaraan angkutan umum tersebut kembali melaju meninggalkannya dalam ketermenungan. Ia menunduk, menatap sepatu yang mulai usang, sambil meremas tali-tali tas dengan kencang. Ada perih merambat usai perkataan bapak tadi terlontar.
Ia diam, tetapi dalam diamnya, ada harap yang berbisik rendah, mengaminkan doa tulus dari seseorang yang bahkan tidak Cerise kenali dengan baik. Rasa hangat terasa menjalar hingga mampu membuat kedua manik pekatnya memanas. Namun, setelah itu, Cerise kembali mendongak, lalu tersenyum riang selepas menghela napas dalam.
Ketika dunia Cerise terasa hampir hancur, semesta menghadirkan bahagia dengan cara yang amat sederhana. Maka kini, di antara ringan langkah menyusuri lorong sekolah, Cerise berjanji tidak akan pernah menyerah menghadapi goresan takdir yang kadang berhasil melukai jiwanya.
Iya, Cerise akan kembali menjadi seperti jingga kala siang beranjak malam. Ia akan menjadi jingga yang hadirnya mampu membuat orang-orang senang dan terpukau. Sebab Cerise merasa, kelahiran ia dunia memang untuk membahagiakan orang-orang di dekatnya. Meski ternyata, gadis itu yang harus menanggung luka.